bagian kecil
Jihoon menghadapi dirinya yang harus menemui atasannya di sela-sela pekerjaan yang tengah menumpuk karena beberapa hari lalu, kantornya mengalami kerugian cukup besar, dan hal itu di lakukan oleh bagian dari keluarga kantor dimana dirinya bekerja saat ini.
Jihoon tidak habis pikir, mengapa selalu dirinya yang dijadikan bulan-bulanan di bagian divisinya bekerja. Bagaimana dengan teman-temannya yang lain? Apa mereka juga akan mendapatkan teguran sebanyak atasannya menegur dirinya padahal tidak salah?
Bagi Jihoon, kantor ini seperti kandang yang mau tidak mau dirinya yang harus keluar. Tapi, ada beberapa kendala dan alasan besar mengapa dirinya enggan untuk keluar terlebih dahulu dan memutuskan kontrak pekerjaan dengan kantornya.
Jihoon sudah memasuki lift dan bertemu beberapa temannya dari bidang yang berbeda. Ada Ten dan Doyoung, mereka terlihat sangat bahagia dengan pakaian yang terlihat mewah dan mimik wajah, riasan-riasan tipis yang masih sempat mereka habiskan disela-sela waktu bekerja yang padat.
“Eh, Jihoon? Mau ketemu siapa di lantai atas?” tanya Ten yang sibuk dengan beberapa berkas yang tengah dia pegang.
“Eh, gue mau ke ruang waktor. Lo mau kemana sama Doyoung?” Jihoon sebisa mungkin menjawab dengan nada bicara seperti orang akrab. Padahal nyatanya ini hanyalah basa-basi.
“Ke ruangan lo, habis dari waktor juga sih kita. Oh ya nanti lo jangan nangis,” ucap Ten.
“Memangnya kenapa? Apa dia bakalan pecat orang-orang kaya gue?” tanyanya.
Ten dan Doyoung tersenyum sambil saling bertatapan, “Sebisa mungkin, kasih alasan dan bantah aja selagi lo masih butuh kerja. Dia kayaknya lagi main-main deh atau mungkin ngecek kinerja karyawan setiap divisi. Ini kita berdua juga habis di panggil suruh resign.”
Jihoon sedikit ketakutan, apakah wakil direkturnya ini mengetahui fakta sebenarnya tentang dirinya? Atau mungkin memang benar apa yang dikatakan Ten tadi?
“Oh ya? Ko bisa gitu sih?” tanyanya mencoba memastikan.
Doyoung mengangguk, “Tapi saran gue sih mending lo bantah aja sih kalau di suruh resign atau apapun itu. Meskipun lo punya tujuan lain di kantor ini, misal kaya lo yang pengen sebenarnya kerja di bidang musik. Itu ga menutup kemungkinan lo bakalan milih kerja disini ko.”
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai 4, Jihoon berpamitan pada kedua temannya dan melangkahkan kakinya keluar menuju ruangan yang sudah dia tuju.
Semoga ga ada yang aneh-aneh setelah gue masuk ke dalem. Amin, batinnya.
Tok.. tok.. tok..
Jihoon sopan memasuki ruangan tersebut. Ada seseorang mengenakan jas tengah duduk di sofa yang menghadap ke luar jendela. Dia berbalik dan tersenyum pada Jihoon.
“Silahkan duduk, Jihoon.” Jihoon mendudukan dirinya di kursi yang tepat berhadapan dengan pria yang usianya tidak terpaut jauh dengan dirinya.
“Jadi saya langsung saja ya. Mungkin kamu merasa aneh karena saja secara mendadak mengundang kamu untuk menghadap saya. Tapi saya tawarkan, bagaimana jika kamu memilih untuk resign dari sini dan saya berikan beberapa hal yang kamu inginkan.”
Jihoon menundukan dirinya, memainkan jari-jarinya merasa gugup dan takut dirinya akan di pecat secara tidak terhormat di kemudian hari.
“Saya boleh tanya alasan bapak menyuruh saya untuk resign?”
“Sebenarnya saya selama ini melihat kinerja orang-orang yang bekerja di sini. Dan kamu adalah salah satunya. Saya dengar dan mendapat laporan dari Jeonghan soal kamu yang selalu menunda-nunda pekerjaan. Benar?”
Jihoon membelalakan kedua matanya, “Sejak pertama kali saya masuk ke sini. Saya ga pernah nunda-nunda pekerjaan yang di kasih ke saya pak. Tapi, soal orang-orang yang nitip pekerjaan ke saya itu yang ga pernah mereka ambil dan lanjutkan sendiri.”
“Ya.. apapun itu alasannya saya tidak ingin mendengarnya. Saya percaya pada Jeonghan dan Seungcheol soal mendidikan rekan-rekan sedivisinya.”
Jihoon mengatur emosinya. Bagaimana bisa dia yang disalahkan padahal sebagian pekerjaan Jeonghan saja ada pada dirinya dan dia suruh kerjakan. Lalu kenapa Jihoon yang harus di salahkan?
“Tapi pak, sekali lagi, saya ga perna nunda-nunda pekerjaan. Sumpah. Saya berani sumpah.” jelas Jihoon banyak penekanan.
“Pikirkan dulu saja Jihoon. Kamu memiliki adik bukan? Saya dengar juga katanya kamu tidak ingin bekerja di kantor seperti ini?” tanya pria di hadapannya ini dan mengeluarkan beberapa dokumen berisi profil tentang dirinya.
Jihoon membaca teliti berkas-berkas itu, “Bapak tau ini semua dari siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan HRD dan orang-orang suruhan saya? Saya punya sekali profil seperti ini.”
“Ini namanya abose of power pak. Kenapa anda seperti ini?!”
“Saya atasan kamu, Jihoon. Silahkan keluar dan pertimbangkan kembali.”
“Tapi pak-”
Pria itu membalikkan badannya dan memungungi Jihoon. Gerak untuk mengusirnya dan enggan kembali membuka ruang obrolan dengannya.
Jihoon dengan perasaan berat hati keluar dari dalam ruangan tersebut dan menangis.
Dia hanya memikirkan nasib kedua adiknya jika dia resign. Bukankah ini secara tidak langsung dia di pecat?