Bandung, 14 Februari 2019

pov Ana.


Sedikit cerita gimana gue bisa ketemu Ras dan berakhir dengan backstreet selama 3 tahun pacaran sama dia.

Dulu gue sempet punya pacar namanya Dimas Maharashtra. Gue dan Dimas sudah berpacaran selama kurang lebih 5 tahun, sejak 2013 waktu gue sama dia masih duduk di sekolah menengah pertama.

Waktu SMP sebenarnya masa-masa yang paling seru menurut gue. Kenapa? Dulu, bunda sama papa masih baik-baik aja, mereka masih sering ajak kita jalan-jalan. Bahkan kakak gue, Azalea sering di kasih hadiah cuma-cuma sama bunda dan papa gue.

Tapi sayangnya, semenjak mereka pisah di tahun 2016, baik gue, bunda dan kakak ga bisa lagi hidup enak. Bunda tiba-tiba kena penyakit yang mengharuskan beliau buat cuci darah setiap sebulan sekali.

Puji Tuhan, kakak gue langsung dapet kerja, meskipun harus bener-bener merintis dari bawah karena masalah pendidikan terakhir yang waktu itu baru aja lulus SMA.

Gue, sebagai Adel yang sedang beranjak dewasa pada tahun 2016 itu cuman bisa jagain bunda. Setiap pulang sekolah sebisa mungkin gue langsung pulang. Karena kakak gue punya sifat tegas yang luar biasa. Apalagi ini soal bunda, orang tua kita satu-satunya.

Gue inget dengan jelas. 10 bulan sejak papa sama bunda cerai, papa masih sering ngajak gue sama kakak main, meskipun gue dan kakak gue suka nolak tapi bunda suka maksa kita buat ikut dia main.

Lulus dari SMP dan akhirnya kakak gue punya cukup banyak uang buat membeli sebuah apartment, kita bertiga pindah ke sana. Disana, tempatnya cukup dekat dengan bunda biasa cuci darah.

Sayangnya, tempat kerja kakak sama apartment yang dia beli ga sesuai sama apa yang harus dia tempuh. Butuh dua jam lebih buat kakak gue sampe ke tempat kerjanya. Begitu pun gue yang harus lari-lari kejar kereta karena jarak sekolah gue cukup jauh juga dari apartment.


Jam 12 malam, kakak gue baru pulang. Keadaan dia ga bisa gue bilang baik-baik aja. Baju dia kotor, rambut dia berantakan, dan juga dia pulang dengan keadaan nangis.

“Bundaaaaaa..” panggil kakak gue dengan lirih, dia langsung nangis lari ke kamar bunda.

Gue yang denger suara itu pun bangun dan lari ke kamar bunda nyusul kakak gue.

Gue liat kakak gue kesakitan, dia nunjukkin kalau dia habis di rampok. Uang dia di ambil, handphone dia di ambil juga. Bahkan karena ngelawan, kakak gue sampai di tendang-tendang dan hampir pingsan.

“Sialan!” gumaman serapah gue setelah denger cerita yang kakak gue sampaikan ke bunda.

“Jakarta terlalu keras ya, untuk kita bertiga. Gimana kalau kita pindah ke Bandung aja? Bunda ada saudara disana, dia sempat bilang mau kontrakin rumahnya. Gimana, kalian mau?” tanya bunda.

Sebenarnya cukup berat buat gue dan kakak untuk pindah ke kota lain. Pasalnya gue dan kakak lahir dan besar di Jakarta. Tapi, dengan adanya kejadian ini gue dan kakak nurut sama bunda. Karena kita mikir ga mau sampai ada masalah lain yang nimpa kita bertiga lagi.

Setengah tahun kita pindah ke Bandung, Puji Tuhan ga ada kendala apa-apa. Mungkin semesta tengah berbaik hati sama kita bertiga. Kondisi keuangan kita aman, gue selalu dapet peringkat pararel di sekolah dan juga kakak gue yang perlahan naik pangkat dan gaji, jadi dia bisa lanjut kuliah.

Lulus dari SMA, gue langsung coba cari loker-loker, gue juga masih sering komunikasi sama anak-anak organisasi yang sering gue ikuti; internal dan ekternal.

Mulai dari sini ternyata kehidupan Bandung gue di uji. Kondisi bunda perlahan memburuk, keadaan keuangan kita bertiga makin buruk juga, gue yang masih belum dapet kerja, kakak gue yang tiba-tiba di pecat tanpa alasan yang jelas dan pesangon.

Dan tepat di tanggal 13 Februari 2019, bunda meninggal. Kita di tinggal sama bunda selama-lamanya.

Gue, kakak, papa ada pemakaman. Gue jadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman tersebut.

Gue nyesel. Gue nyalain diri gue kala itu. Kalian tau kan, rasanya di tinggal sama orang yang kita sayang itu gimana?

Apalagi ini ibu sendiri, bunda.

“Hi. You're not going to leave this place? Sudah mau turun hujan.”

Gue denger ada suara laki-laki dari samping kiri gue.

“Seandainya gue bisa pilih. Gue pengen gue aja yang mati. Bunda jangan. Dia masih bisa sembuh kan?”

Gue mengajak orang itu berdialog. Entahlah, gue ga bisa mikir jernih kala itu.

Everyone will die. Everyone has their own time to die. Kamu kalau mati sekarang pun percuma kalau Tuhan belum mau kamu selesai sama hidup kamu.”

Gue diam. Terasa hujan mulai turun dengan perlahan. Tapi aneh, kenapa gue ga basah?

“Lo bisa pake payung ini. Gue cabut dulu, seandainya mau balikin payung ini. You can come to a panti jompo di daerah Burangrang, Lengkong. Gue pamit. Jaga diri baik-baik.”

Setelah dia bilang gitu. Hujan mendadak turun dengan deras. Makam bunda yang masih belum kering, tertimpa air hujan yang deras.

“Bunda, besok aku ke sini lagi. Payung ini, maaf ya aku ga bisa kasih bunda. Tapi aku yakin malaikat disana pasti payungin bunda. Sayang bunda.”

Gue pergi meninggalkan makam bunda dengan berat. Gue masih kangen bunda. Tapi emang bunda bisa balik lagi?


Besoknya, gue langsung pergi ke tempat yang dimaksud si pemilik payung kemarin. Jarak tempat dari kontrakan cukup jauh, bahkan itu termasuk daerah macet yang luar biasa.

Gue hanya bermodalkan google maps, gue meminta teman se-SMA gue yang tinggal di Bandung.

“Lo balikin payung padahal bisa di paketin. Repot-repot sampai harus nyusulin ke rumah dia?”

“Ga kerumah diaaa. Panti jompo. Gue rasa ini punya neneknya? I don't know

Selama diperjalanan, gue mencoba untuk mencari panti jompo yang mana yang si pria itu maksud. Masalahnya, di Bandung ga cuman satu tempat panti seperti itu. Apa gue harus mencari ekstra hanya agar bisa mengembalikan payung ini?

Gue dan Andra sampai di rumah yang cukup besar, tidak ada palang panti jompo atau yang sejenisnya. Kami hanya mampir untuk beristirahat dan membeli makan yang di jajakan oleh pedagang kaki lima di dekat rumah tersebut.

“Mau balikin payung ya?” tanya seseorang tiba-tiba dari arah belakang gue.

“Eh iya mas? Eh ini masnya ya? Atau siapa?”

“Lo yang kemarin di makam sebelum hujan? Pakai jaket hitam dengan logo band arctic monkeys di belakangnya?” jelas si pria itu.

“Iya mas. Berarti bener ini masnya. Ini mas saya mau kembaliin payungnya terima kasih.”

“Sama-sama.”

Ucapnya sambil menerima payung dari yang gue bawa. Sejujurnya, gue rasa dia seumuran sama gue dan kayaknya dia juga kemarin habis kehilangan seseorang yang dia sayang dan kebetulan di makamin disana.

Gue sedikit ngobrol-ngobrol sama dia, tukeran nomor juga buat kali aja ada kerjaan yang bisa gue apply.

“Kalau gitu, gue pamit dulu ya. Hati-hati kalian berdua.”

Dia pamit, “Nama lo siapa?!!”

Gue teriak dan dia jawab, “RASYA!”

“Oke. Thanks ya Rasya!”

Gue dan Andra pulang sebelum hujan besar. Tapi tetep aja kita berdua kehujanan di jalan pulang.


“Halo Adel?”

“Halo, Ras. Kenapa?”

“Gue kebetulan ada info kerja nih. Mau ga lo ambil?”

“Wih boleh. Apaan tuh?”

“Tempatnya agak jauh sih di Jakarta. Gimana lo mau?”

“Aduhh, kalau Jakarta kayaknya belum bisa deh. Soalnya gue habis coba mandiri di univ Bandung.”

“Dimana?”

“U-thirteen. Lo tau?”

“Oh dulu gue sempet daftar kesana. Cuman ga jadi.”

“By the way, kalau ketemuan lo sibuk ga hari ini?”

“Engga.”

“Ketemuan yuk? Gue jemput. Lo tinggal dimana?”

“Ketemuan di Balai Kota aja, gimana?”

“Oke. Jam 4 sore, bisa?”

“Sip.”

“Oke. Thanks Adel.”

“Sama-sama, Ras.”


14 Februari, tepat sehari sesudah kepergian bunda. Gue dan Ras akhirnya memutuskan untuk ke makam, gue ga maksa tapi Ras yang ajak.

Berakhirlah gue dan Ras yang meneduh di mobil milik Ras. Karena mustahil jika harus pulang dengan keadaan kabut yang turun. Bisa-bisa kami mati kecelakaan.

“Lo, udah ada pacar? Ko gue ga liat sedari kemarin lo di makam?”

Ini topik privacy yang ga bisa sembarang orang tau dengan cuma-cuma.

“Ga ada. Kita udah putus dari satu SMA karena gue pindah ke Bandung.”

Tapi anehnya, gue memberi tau hal itu pada Ras yang notabenya orang asing, orang baru. Gue menceritakan banyak hal pada Ras.

“Del. Kalau gue mau pendekatan sama lo, gapapa?”

“Hah? Pendekatan apa? Temenan gitu?”

“Bukan. Ke arah yang series, I mean semacam pacaran?”

“Oh, memang lo bakalan kuat sama gue? Banyak orang yang cuman penasaran sama gue doang selama ini.”

“Gue percaya lo. Lebih dari siapapun.”

“Wow bahasanya hahaha.”

Gue tertawa terbahak-bahak selama percakapan tersebut. Ras yang tiba-tiba meminta izin untuk pdkt dan segala hal-hal random yang dia ceritakan.

“Gue pernah ada pacar. But she's die. Tepat hari kemarin berbarengan sama nenek gue.”

Oh. Ternyata nenek dan kekasihnya meninggal pada hari itu.

“Jangan cari yang ada di pacar lo ke gue. Gue orang biasa, Ras.”

“Justru itu. Gue tau, kematian mantan pacar gue yang kemarin karena salah dia. Gue udah sering larang dia buat ngelakuin hal tersebut. Tapi ya, bentukannya kaya batu ya, keras. Mau di apa-apain juga susah pemikirannya.”

“Maaf kalau boleh tau, karena apa?”

“Overdosis karena gue tinggal ke Australia buat kuliah.”

Gue hanya bisa melongo mendengar penjelasan Ras barusan, “Namanya hidup. She thinks you're her soul mate. So she doesn't want you to go far.

Ras menggeleng, “Kita udah putus dari 2 bulan lalunya sebelum gue cabut ke Aussie. Cuman ya, gatau gue.”

“Kenapa kita ga pacaran sekarang aja? I mean gue butuh teman buat cerita dan berkeluh kesah atas hari-hari gue.”

“Wow Ana.”

Ras tertawa mendengar ajakan gue barusan. Dan satu lagi, dia panggil gue Ana.

“Nama gue Ardelia Natasya Anggun, Ras. Ga ada Ana-Ana nya.”

“Kalau di singkat jadi Ana. Lucu.”

Gue berpikir. Kenapa Ras ini sangat lucu dan random sekali pemikirannya. Tapi disatu sisi gue bener-bener dengan ide dia bawa gue ke makam dan kita terjebak hujan kabut disana.

“Del. Gue bakalan lama di Aussie. Kita LDR. Lo bisa LDR kan? Kalau engga, ya harus bisa sih. Gue pengen pacarannya sama lo.”

“Gue, jago.”

“Pacaran nih kita?”

“Pacaran.”

Diakhiri dengan tawa lepas dari kami masing-masing. Terlalu gila, tapi faktanya memang begini di lapangan.

Ya kira-kira begitu gue bisa jadian sama Ras.