Chance &Change.


Malam ini hembusan angin kota Seoul cukup tidak bersahabat dengan kehadiran mereka; Soonyoung dan Jihoon ditempat pertama kali Soonyoung menyatakan perasaannya pada Jihoon. Terhitung sudah 7 tahun lamanya tempat ini tidak pernah lagi mereka daki bersama-sama. Masing-masing pikiran mereka tidak sama sekali menginginkan untuk mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi ini sendirian. Apalagi Soonyoung, dia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, mana ada waktu untuk mengahabiskan waktunya untuk sekedar hanya bersenang-sennag dan menghabiskan uang.

Sedangkan Jihoon, dia lebih baik menghabiskan waktu liburnya untuk bersitirahat atau pulang ke rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Dia sudah cukup lelah jika harus keluar dan menghabiskan energinya hanya untuk mendaki gunung. Sebenarnya jika di ajak sih Jihoon mau-mau saja. Tapi sayangnya siapa yang akan mengajaknya untuk mendaki gunung yang selalu dia bicarakan sebelum tidur itu. Orang lain saja tidak ada yang tau mengenai eksistensi gunung itu di kota sebesar dan sesibuk Seoul.

Jihoon menggenakan jaket hitam tebalnya, sedangkan Soonyoung sudah menganti jas yang dia pakai tadi dengan jaket hitam juga. Jihoon sengaja menggunakan masker untuk menutupi wajahnya, takut ada orang tidak bertanggungjawab yang ingin menjadikan dirinya dan Soonyoung sebagai bahan gosip. Maklum saja, selain sebagai seorang CEO muda yang karirnya sedang berada di puncak, Soonyoung dulu adalah seorang model yang cukup terkenal, dia juga memiliki 2 lagu yang pernah booming pada masanya.

“Sebelum naik mau beli makanan dulu di supermarket itu?” tanya Soonyoung sebelum mereka berdua mendaki gunung yang ada di hadapan mereka.

Jihoon mengangguk, “Saya mau beli air mineral botol sama roti sepertinya, pak.”

“Jangan panggil gue pak. Lo-gue aja, kaya biasa dulu kita ngobrol.” tutur Soonyoung dan berjalan mendahului Jihoon di depan.

Jihoon sedikit kaget namun paham maksud pria di hadapannya.

Mereka berdua berpisah di dalam supermarket dan berjalan melewati rak-rak makanan atau minuman yang tersedia di sana. Soonyoung yang sudah selesai dengan belanjaannya, melihat Jihoon berdiam cukup lama di depan chiller yang berisi banyak kue-kue cantik.

“Kenapa Ji?” Kehadiran Soonyoung membuat Jihoon terkejut. Dia langsung mengalihkan pandangannya, “Eh engga pak- eh maksudnya Soon. Gapapa kok.”

Soonyoung sepertinya benar-benar sudah berubah dan belajar dari dirinya yang dulu. “Kalau mau gapapa, ambil aja.”

Jihoon menggeleng dengan cepat, “Engga Soon, gapapa ayo. Udah selesai ko.” Jihoon berjalan menjauhi chiller menuju kasir dan membayarnya.

“Eh-eh. Udah sama gue aja bayarnya. ATM lo simpen. Ini kan gue yang ajak.” Soonyoung menahan tangan Jihoon saat dia hendak membayar belanjaannya.

“Eh? Engga. Ini ga sedikit Soon, gapapa gue aja.”

“Apa sih Ji. Engga sumpah gapapa, biar gue aja.” Soonyoung langsung menyodorkan kartu ATMnya dan memberikannya pada kasir. Dia tidak peduli jika nantinya Jihoon akan mentransfer balik uangnya atau tidak dia tidak peduli.

“Nanti uangnya gue ganti ya. Oh atau potong dari gaji gue juga gapapa ko.”

Soonyoung menggeleng, “Terima kasih, Mba.”

“Udah yuk.” Soonyoung mendorong Jihoon untuk keluar dan melanjutkan perjalanan mereka untuk mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi di depan mereka.

“Eh. Sebentar Ji, gue kebelet. Mau ke toilet sebentar.” Soonyoung berlari dan meninggalkan Jihoon di loket pembelian tiket. Dia menjaga barang-barang yang sudah Soonyoung belikan untuknya dengan baik.

Sedangkan Soonyoung hanya menjadikan ke kamar mandi itu sebagai alasan. Sebenarnya dia membeli beberapa kue yang Jihoon lihat cukup lama di dalam chiller. Dia memilih 2 kue strawberry, 1 kue coklat, 1 kue choco mint, dan 1 kue pisang coklat. Mungkin saja mereka nanti secara mendadak kelaparan, kue tersebut bisa langsung di makan. Apalagi Soonyoung melihat Jihoon hanya membeli dua air mineral dan satu roti berukuran sedang.

Kembalinya Soonyoung sontak membuat Jihoon berdiri tegak, “Eh-” ucapnya kaget.

“Ayo.” ajak Soonyoung.

Mereka berdua sudah membeli tiket masuk dan siap untuk mendaki gunung tersebut. Soonyoung dan Jihoon sama-sama tidak berbicara. Pendakian itu hanya di temani oleh suara hewan-hewan malam, ada juga hilir-mudik kunang-kunang yang menghiasi perjalanan mereka. Hembusan angin malam membuat Jihoon sesekali menghangakan badannya dengan mengusap-ngusap kedua tangannya dan di tempelkannya pada bagian badannya yang terasa dingin.

15 menit perjalanan akhirnya mereka sampai di tempat. Ternyata ada beberapa pengunjung yang juga sedang menikmati pemandangan lampu kota yang tidak pernah istirahat. Gunungnya memang tidak terlalu tinggi, namun lokasi gunung ini berada di atas. Maka dari itu Soonyoung dan Jihoon sebenarnya sudah berhenti beberapa kali untuk makan dan beristirahat atau sekedar untuk ke kamar mandi.

Soonyoung sudah menandai tempat yang sama persis seperti yang dulu dia injak saat menyatakan perasaannya pada Jihoon. Jihoon hanya bisa merasa geli jika mengingat-ngingat waktu itu. Dia malu juga karena sudah merasa benar dan menjelek-jelekki pria di hadapannya yang kini menjadi bosnya di tempat kerja.

“Gimana? Tempatnya masih sama kaya 7 tahun lalu kan?” tanya Soonyoung memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Iya. Masih kaya dulu, ga berubah.” jawab Jihoon singkat.

“Gimana Ji, gue udah berubah kan? Review dong, rate gue berubahnya udah sejauh apa. Udah sesuai sama apa yang lo bilang dulu belum?”

Pertanyaan mengejutkan dari Soonyoung sontak membuat Jihoon tertawa ketir. “Gimana ya.. dulu gue beneran ga mikir dan asal jeplak aja. Maaf ya.”

“Kan gue udah bilang. No need to say sorry, Ji. Kalau lo ga bilang gitu ke gue, gue mana bisa berubah kaya sekarang. Thanks ya.”

“Sama-sama.”

Hening lagi.

Terlalu banyak hening di antara mereka berdua. Mungkin karena tidak lagi sering bertemu selain di kantor, maka pembahasan mereka mungkin tidak akan jauh dari pekerjaan jika bertemu.

“Lo berubah ko Soon. Sangat. Gue berterima kasih ke lo udah jadiin amarah gue dulu jadi acuan lo buat maju. Dulu, gue selalu ngeliat lo penuh dengan peluang. Tapi lo ga pernah ambil itu dan gue kesel setengah mati. Lo seolah-olah ngegampangin segala peluang yang lo punya. Makanya gue marah.”

Jihoon menjeda kalimat-kalimatnya. Dia meminum air mineral yang dia beli dan meneguknya sampai habis, “Bahkan. Gue malu kalau ternyata gue ga bisa ngelangkahin lo karena level lo cukup jauh dari level gue.”

“I never feel level gue lebih tinggi atau jauh dari lo Ji. Bahkan gue ngerasa lo itu manusia paling hebat yang gue kenal. Alasan lo tinggal di kontrakan itu karena gaji lo di kasih semua ke adik-adik lo dan orang tua lo kan?”

Jihoon cukup kaget mendengar Soonyoung; bosnya mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. “Eh gue ga kepo atau nyari tau ke temen-temen lo ko. Gue mengamati lo dari jauh aja.”

“Gapapa. Gue memang bener ko, ngasih semuanya ke keluarga gue. Selesai sarjana waktu itu, bokap gue ketipu habis-habisan. Total kerugiannya ga sedikit, semua aset yang bokap gue punya udah di jual. Sekarang mereka tingal di kontrakan yang yaaa.. bisa gue bilang kurang layak buat 4 orang di sana.”

Soonyoung mengamati dan mendengarkan benar-benar yang sedang Jihoon ceritakan.

“Gue tadinya ga pengen nerima kerja yang udah lo terima untuk gue ini. Gue malu. Gue udah terlalu sering marah-marahin lo, makanya gue pernah ngajuin resign. Tapi makasih, lo ga nge-accept ajuan resign gue. Mungkin, kalau gue resign, keluarga gue makin terpuruk dan hutang bokap gue ga lunas-lunas.”

“Adik lo itu Chan sama Seokmin kan? Mereka sekarang udah kerja atau gimana?”

“Chan, Puji Tuhan dapet beasiswa sampai lulus dari kampusnya. Sedangkan Seokmin kerja di perusahaan swasta yang gajinya pokoknya bisa nyukupin dia hidup.”

“Bokap nyokap lo?”

“Bokap gue kerja di kantor swasta juga, posisinya ga tinggi, cuman kurir anter barang aja. Kalau nyokap, dia dagang di deket rumah.”

“Ji..”

“Iya? Hidup gue terlalu menyedihkan ya? Lo bisa olok-olok gue ko Soon kalau merasa ga suka atau lo ngerasa gue ini dapet karma. That's okay.”

“Apa sih. Bukan.”

Soonyoung memegang pergelangan Jihoon, “Lo. Lo manusia paling hebat. Ga salah lagi gue tetep pengen lo sampai saat ini.”

“Pengen apa Soon? Gue ga punya apa-apa.”

“Bahkan gue bisa kasih lo dan lo bisa punya apa-apa.”

“Engga Soon. Gue ga enak.”

Soonyoung menangkup wajah Jihoon, “Engga. Lo ga boleh ngomong gitu. Lo itu manusia yang paling berperan penting buat kehidupan gue Ji. Kalau lo ga marah-marah soal gue yang males-malesan dari semasa SMA, gue ga bakalan tau sampai sekarang rasanya berdiri atas keberhasilan sendiri. Ji. Lo manusia paling hebat yang gue kenal.”

“Makasih,” ucap Jihoon lalu tersenyum.

Lagi-lagi mereka hening. Soonyoung sebenarnya lebih sibuk dengan jantungnya yang terus berdegup kencang karena rencananya yang ingin melamar Jihoon waktu itu juga.

Dia terus merogoh saku jaketnya untuk mencari kotak berisi cincin yang dia bawa.

“Nah!” Jihoon melirik pada Soonyoung.

“Jihoon.” Soonyoung meraih tangan Jihoon. Dia selipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, “You always look so beautiful in everyinch. Cantik lo ga pernah pudar.”

Jangan tanya kondisi Jihoon sekarang. Kedua pipinya benar-benar memerah. Dia malu karena terus di puji.

“Ji. Gue sebenarnya malu bilangnya. Tapi. Seperti apa yang lo bilang sewaktu kita sekolah terus kuliah dan ketemu lagi di kesempatan kita di dunia kerja. Now we are equal and both adults. I thank you for all your anger and concern. So, can I be your life partner now?” ucap Soonyoung berbarengan dengannya mengeluarkan satu cincin dalam kotak berwarna merah tersebut.

Jihoon tidak bisa lagi berkata-kata. Dia menangis dan tidak percaya bisa kembali pada manusia yang sebenarnya dia nantikan lagi eksistennya berlalu-lalang dalam kehidupannya. Soonyoung terus menunggu jawaban apa yang akan di berikan oleh Jihoon.

Jihoon mengangguk, “Yes, you can and we will go back to learning together.”

“YAAASHHH GOD!! THANK YOU!!”

Soonyoung memasangkan cincin itu pada jari manis pria di hadapannya. Dia benar-benar bahagia sampai orang-orang di sana melirik ke arah mereka berdua. Jihoon malu karena tempat mereka menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat.

“Jihoon.. Thank you. Makasih banyak.” Soonyoung memeluk Jihoon dengan perasaan sangat bahagia. Begitupula Jihoon, dia masih terus menitikkan air mata bahagianya dalam pelukan sang calon partner hidupnya.