everything will be fine, if you choose me to die.
tags ; nsfw, murder, drugs, mental health, family issue, slight bxb, kissing, harsh words, intinya tidak untuk umur dibawah 18 tahun.
Hembusan angin kencang menemani perjalanan seorang pria berambut merah muda pulang menuju apartmentnya.
Untuk kali ini ia sedikit tergesa-gesa dan panik dalam perjalanan. Tidak seperti biasanya.
Dua jam lalu, pria bersurai merah muda ini mendapatkan telfon dari seorang petinggi di kalangan seperti dirinya ; pembunuh, membunuh, dibunuh.
Tidak ada perasaan aneh ketika dirinya menerima telfon dalam beberapa menit. Namun setelah itu semuanya berubah dan menganggu dirinya, pikirannya, bahkan hati kecilnya.
Hati kecil yang tergerak karena semua itu berhubungan dengan kekasihnya yang juga bekerja dengannya ; untuknya. Kekasihnya tidak sama sekali bekerja dengan bos besarnya atau bos lain di kalangan tempatnya bekerja.
Sebelumnya ia mengirimkan beberapa pesan pada kekasihnya untuk memilih siapa target selanjutnya yang akan ia tembak mati di minggu depan.
Kali ini pilihan spesial bagi kekasihnya. Karena selama ia bekerja untuknya, ia tidak pernah memilih siapa targetnya, apa tujuannya, dan akan diapakan setelah targetnya di bunuh.
Akashi Haruchiyo. Begitulah nama asli yang sebenarnya. Fakta sebenarnya ia terlalu malas untuk menggunakan marga Ayahnya.
Butuh satu jam untuk sampai di apartement miliknya dan kekasihnya. Lantai 7 dengan kamar bernomor 66 sudah dibelinya selama 4 tahun untuk tinggal bersama kekasihnya dan bertukar pikiran setiap pukul 3 pagi sebelum mereka berangkat untuk bekerja.
Menekan beberapa tombol nomor untuk membuka pintu yang sudah dipastikan tidak akan dibuka jika ia mengetuk sebanyak 100 kali sekalipun.
Sebelum itu kekasihnya mengirimkan pesan, bahwa saat ini ia tengah mabuk karena merasa gila jika harus memilih target yang harus di bunuhnya minggu depan.
“Sayang,” ucap Chiyo dengan nada lembut, berusaha tidak membangunkan kekasih cantiknya yang sudah terlelap.
Chiyo bergegas mengangkat tubuh kekasihnya, memindahkannya ke dalam kamar.
“Ka Chiyooo.”
Chiyo menoleh ke arah kekasihnya.
Berantakan.
“Jangan ya. Biar aku aja.”
Hanya dua kalimat yang bisa kekasihnya ucapkan, setelah itu ia kembali tertidur karena ia benar-benar sudah menghabiskan 5 botol alkohol sendirian.
Chiyo tersenyum. Mengecup kening kekasihnya dan membiarkannya untuk tidur.
Ia melihat ke arah sekitar. Apartementnya cukup berantakan.
Baju kotor dimana-mana, botol alkohol pecah berserakan, obat juga berserakan, dan piring bertumpuk di tempat cucian piring.
“Sayang, aku juga ga mau ninggalin kamu dalam kondisi kaya gini.”
Chiyo membereskan semua kekacauan yang ada.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, Chiyo baru saja selesai dengan semua kekacauan yang tadi ia lihat.
Kini ia tengah duduk di samping kekasihnya, memperhatikannya tidur adalah kegiatan favoritnya selama ini. Namun saja semuanya tertunda dan tidak lagi terjadi selama beberapa minggu kebelakang.
Dirinya dan kekasihnya di sibukkan dengan hal-hal keji yang tidak membiarkan mereka untuk sekedar beristirahat barang 10 menit saja.
“Kamu selalu cantik. Maafin kakak malah ajak kamu kekehidupan ga bener kaya gini.”
Chiyo menangis, ia merasa bersalah karena membawa perempuan polosnya ini kedalam dunia gelap miliknya.
Membiarkannya menyentuh benda-benda yang seharusnya tidak ia pegang, meminum dan memakan hal-hal yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuhnya. Ia benar-benar merasa bersalah.
“Ka.”
Chiyo menghapus air matanya, melirik wajah kekasihnya sebagai jawaban.
“Biar ade yang dibunuh ya? Kakak tetep disini aja, kerja.”
Chiyo menggeleng, “Buat apa? Kakak ga mau kehilangan kamu
Perempuan kesayangan di sampingnya ini membenarkan posisinya, “Ka, ade juga kalau hidup tanpa ka Chiyo buat apa? Kakak di bunuh, ade yang bunuh. Kalau ade pilih ka Mikey pun, kakak yang bakalan di bunuh kan?” Chiyo membuang nafasnya kasar, memeluk kekasihnya erat seperti tidak ada hari esok untuk memeluknya.
“Chiyo yang udah bawa kamu ke dunia Chiyo kan? Kamu harus balik lagi jadi diri kamu sebelum ketemu Chiyo – “
Perkataannya dijeda. Chiyo membalikkan badannya agar bisa menatap wajah kekasihnya. “ – seadainya Chiyo ga pergi ninggalin kamu, Chiyo takut kamu jadi makin terbawa. Chiyo udah pernah bilang jangan sentuh obat Chiyo, Chiyo minta kamu tau biar kalau Chiyo kambuh kamu bisa kasih obatnya buat Chiyo, bukan kamu yang ngabisin tanpa takaran, Sayang.”
Kekasihnya hanya menatap Chiyo dengan tatapan sayu, memang itu ciri khasnya. Tatapan sayu yang membuat Chiyo jatuh hati padanya 7 tahun lalu di sekitar perumahan Tenjiku — perumahan yang terkenal karena semua keluarga berisi mantan ketua gang besar dari berbagai negara.
Saat itu Chiyo kecil tengah bermain dengan teman-teman sebayanya. Mikey, Kokonoi, Kakucho, si kembar Haitani, Ka Mucho, dan kakaknya Takeomi adalah teman terdekat Chiyo semasa kecil.
Chiyo dididik oleh kakak dan orang tuanya menjadi pribadi yang mandiri, tidak manja, tidak keras kepala, dan sebisa mungkin menjadi pribadi yang baik.
Namun, Chiyo kecil sering kali disiksa secara diam-diam oleh ayahnya. Tidak pernah ada yang tau kejadian kejam itu. Chiyo kecil benar-benar menutupi semua penderitaannya sendiri, sampai dimana ia kenal dengan beberapa berandalan dan ia nyaman berada disana, membuatnya seperti ada di rumah melebihi rumahnya sendiri.
Chiyo kecil tidak pernah bolos dalam pelajaran, selalu di tingkat pertama kelas, bahkan ia juga juara satu mengalahkan 100 sekolah terbaik yang ada di kotanya dalam lomba sains dan debat.
Tapi, Chiyo kecil juga pernah mengalahkan 10 orang 4 tahun di atasnya. Sendirian. Mencoba menyelamatkan seorang perempuan yang tengah berjalan — sepertinya pulang sekolah.
Chiyo mendapatkan beberapa bogem dari orang-orang yang ia kalahkan tadi. Tapi semuanya tidak terasa karena Chiyo sudah biasa mendapatkan tonjokkan seperti itu.
“Kamu gapapa?” tanya Chiyo pada perempuan kecil yang ia tolong.
Perempuan itu tidak menjawab, malah memeluk Chiyo sekuat tenaga yang masih tersisa.
“Aku takut. Itu semua pasti suruhan Papa buat jemput aku, tapi semuanya keterlaluan. Papa juga!”
Setelah mengatakan itu ia menangis dalam pelukan Chiyo. Chiyo mengerti karena Chiyo juga memiliki adik kecil seumuran dengan perempuan ini.
“Rumah kamu dimana? Biar aku anterin.”
“Nanti Papa aku marah kalau bukan orang suruhannya yang anterin aku.” Chiyo berpikir keras tentang pernyataan itu.
“Gimana kalau kamu pulang dulu ke rumah kedua aku?” tawar Chiyo tanpa beban.
“Boleh Ka? Tapi nanti aku malah ngerepotin Papa sama Mama kakak dirumah.”
Chiyo menggeleng cepat, “Bukan rumah yang ada Papa sama Mama aku ko. Ini isinya cuman temen-temen aku sama kakak-kakak aku aja. Tapi kalau kamu ga mau gapapa aku anterin ke rumah kamu, biar aku aja yang nanti di hajar Papa kamu.”
Perempuan kecil itu mengangguk, menyetujui ajakan Chiyo menuju rumah keduanya.
Diperjalanan baik Chiyo dan juga perempuan kecil yang ia tolong banyak bertukar cerita.
Mulai dari dunia sekolah mereka, pelajaran, orang tuan, teman, bahkan sisi gelap masing-masing.
“CHIYOOO!” teriak seseorang dengan lambaian tangan.
Chiyo membalas lambaian tangan tersebut, “Itu Kakak aku, namanya Takeomi. Nanti aku kenalin kamu sama temen-temen aku oke?”
Ia mengangguk dan tersenyum manis kearah Chiyo.
Cup!
Chiyo mengecup pipi kanan perempuan kecil di sampingnya.
“Ka Chiyo? Ko cium-cium aku? Nanti Papa marahin Ka Chiyo loh,” ucap perempuan kecil manis disampingnya.
“Gapapa, nanti Chiyo tanggung jawab. Kamu nikah sama Chiyo mau ga?”
“Ka Chiyo memang udah punya rumah?”
Chiyo menggeleng.
“Tuh kan. Kata almarhum bunda kalau ada yang mau nikahin aku harus udah punya rumah dulu biar ga bingung mau bobo dimana nanti.”
Chiyo hanya ber-oh saja melihat kelakuan si kecil disampingnya ini. Jujur saja Chiyo benar-benar hampir gila karena sikap manis anak kecil yang ia tolong tadi.
“Aku mau nikahin kamu. Kamu gemes soalnya.”
Waktu berjalan dengan cepat. Perempuan yang ia tolong kini sudah beranjak dewasa, begitu juga dirinya.
Terhitung sejak 5 tahun lamanya mereka tidak bertemu, sejak kejadian terakhir Chiyo mengajaknya untuk bertemu dengan anggota di rumah keduanya.
“CHIYO! ADA TAMU BUAT LO. CEWE.” teriak salah satu temannya.
“Ganggu aja gue lagi menikmati istirahat yang bos kasih juga elah.”
Chiyo keluar dari dalam ruangan tempatnya beristirahat,menghampiri seseorang yang ingin bertemu dengannya tadi.
“Siap-pa?”
Chiyo kaget. Kaget bukan main.
Perempuan itu menghampiri Chiyo, memeluknya erat dan menangis.
“Ka Chiyoo,, ini aku..”
Chiyo masih shock. Lupa. Gadis yang memeluknya ini siapa?
Lima menit mereka tidak bergerak membiarkan semuanya dicerna.
“Lo? Cewe kecil yang dulu gue tolong kan?”
Ia mengangguk.
“Ko bisa tau gue disini dan mau ketemu gue ada apa?”
“Kangen!”
Chiyo tersedak air ludahnya sendiri.
Pelukannya merenggang, tidak ada balasan sama sekali dari yang dipeluk.
“Aku ganggu ya? Maaf.”
Chiyo menarik tangan perempuan itu dalam pelukannya. Ia juga sama, merindukannya.
Tanpa kabar, tanpa cerita sedikitpun. Chiyo, Akashi Haruchiyo. Benar-benar merindukan cinta pertamanya.
“Kamu tau darimana aku disini?”
“Aku masih inget rumah kedua kakak, aku bahkan gatau rumah pertama kakak.”
“Maaf ya tiba-tiba ngilang.”
“Aku yang harusnya minta maaf tiba-tiba Papa nampar kakak 5 tahun lalu.”
“EKHEM!”
Chiyo refleks melepas pelukannya karena seseorang yang berdehem di belakangnya.
“Ajak masuk kali Zu, gimana sih. Mana cewe lagi,” titah seseorang berambut putih dengan tato dileher belakang.
Chiyo mengajaknya masuk kedalam rumah.
Semuanya berubah. Interior, cat dinding, dan hal-hal lainnya lagi. Untuk kali ini, rumah ini di dominasi dengan warna hitam, putih, dan merah.
“Udah berubah semuanya, disuruh si Mikey.”
Perempuan itu hanya mengangguk. Chiyo masih menggenggam tangannya, tidak ingin melepaskan.
“Mau ke atas? Sekarang ada rooftopnya,” tawar Chiyo dengan senyuman mepamerkan gigi rapinya.
Ia mengangguk.
“Ka Chiyo.”
Chiyo menoleh ke sumber suara. “Kita, bisa nikah ga?”
“Ya bisa. Masa ga bisa sih.”
“Kapan?”
“Hah?”
“Maksud aku, kapan kita menikah.”
“Kakak bukan Tuhan. Kakak juga ga punya pacar.”
“Si Sanzu nungguin cewe yang dia selametin lima tahun lalu. Jadi ngejomblo aja terus sampe sekarang,” celetuk Rindou yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
“Bacot ngentot! Abang lo tuh dah beres, sana samperin.”
Yang dibentak hanya mengejek dan turun kebawah menghampiri yang lain membiarkan Chiyo dan masa lalunya reuni.
“Tadi Ka Rin ya kalau aku ga lupa?”
“Kamu masih inget?”
Ia mengangguk.
“Iya itu Rin.”
Mereka berdua diam setelah pertanyaan itu terjawab.
Dua puluh menit mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing
“Ka Chiyo
“Iya?”
“Aku boleh cerita?”
“Boleh banget. Kenapa?”
“Suruhan Papa. Pernah coba perkosa aku – “
Tatapan Chiyo menjadi tajam, marah, kesal. Semuanya bercampur menjadi satu ekspresi.
” – Papa gatau. Seandainya aku kasih tau pun Papa ga bakalan percaya sama aku, dia bakal lebih percaya sama suruhannya.”
“Tapi kamu ga kenapa-kenapa kan?”
Ia menggeleng, “Aku berhasil kabur. Aku pergi dari rumah sampai detik ini pun aku belum pulang sama sekali.”
“Aku ga tau kabar Papa. Tapi aku denger-denger Papa meninggal gara-gara kecelakaan. Aku sedih waktu itu, aku ga punya orang buat lari, buat ngadu, jadi aku nyoba juga buat nyusul Papa sama Bunda di surga.”
Chiyo yang mendengar ceritanya hanya bisa tersenyum pahit, ia juga tidak tau kabar ayah dan adiknya bagaimana sekarang. Sudah sejak lama Chiyo meninggalkan rumah mengikuti kakaknya untuk pindah kesini.
“Aku sempet di tolong sama seseorang. Orangnya ada tato gitu di tangan kanan sama kirinya. Rambutnya juga dicat kuning yang tengahnya – “
“Hanma.”
Ucapan perempuan itu di potong oleh Chiyo untuk menjawab siapa lelaki yang menolongnya kala percobaan bunuh diri tersebut.
“Temen ka Chiyo?”
“Bukan.”
“Ooh gitu. Tapi ko Kakak kenal?”
“Kamu ga perlu tau.”
Yang dijawab hanya mengangguk paham. Tidak ingin mengetahui lebih jauh sebelum diizinkan.
“CHIYO! CEWE LO MAU MAKAN APA?!” teriak seseorang yang Chiyo sudah yakini itu Ran yang sudah di dapur bersama kekasihnya — Mitsuya.
“Kamu mau makan apa?”
“Terserah ka Chiyo.”
“Aku kebawah dulu sebentar.”
Chiyo meninggalkannya untuk mengambil makanan yang sudah Ran siapkan.
Satu piring pasta, sushi, dan cola.
“Kamu suka ini? Kalau engga aku ganti dulu ke bawah.”
“Suka ko.”
Ia memakannya dengan lahap. Chiyo yang memperhatikannya hanya bisa tersenyum kecil, kebahagiannya akan segera kembali terukir.
Jam dinding yang terpasang di kamar Chiyo sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia bingung harus membawa wanita ini pulang atau membiarkannya tinggal di rumah ini.
“Mau tidur disini?” tanya Chiyo memastikan. Ia ingin meminta izin Mikey untuk membiarkannya menginap disini barang sehari atau dua hari.
“Boleh?”
“Aku tanya Mikey dulu.”
Chiyo keluar dari kamarnya, menghampiri Mikey yang tengah sibuk di ruang bawah tanah dengan mainan kesukaannya.
“Manjiro!” panggil Chiyo sedikit keras.
“Gue lagi pegang pisau. Jangan mancing.”
“Maaf ga sengaja.”
“Mau apa? Bantuin?”
“Bukan. Gue mau minta izin.”
Mikey membalikkan tubuhnya, mendorong kepala seorang pria cantik dibawah Mikey yang tengah memanjakan miliknya.
Chiyo yang melihatnya sedikit malas, ini sudah malam tapi masih saja ia bermain dengan peliharaannya.
“Gimana?”
“Cewe tadi, mau nginep sini boleh?”
Mikey mengangguk, “Udahnya gue bunuh boleh?”
Chiyo menatap tajam, tidak terima.
“Bercanda Sanzu sayang. Boleh ko, tapi jangan lama-lama. Minta koneksi Koko buat beliin lo apartment. Jangan tinggal disini, anak-anak takut ga suka.”
Chiyo mengangguk.
“Ada bayarannya.”
“Apa?”
“Lo.”
“Gue?”
“Jadi anjing peliharaan gue atau – “
Perkataannya dijeda. Mikey mencium bibir Chiyo sekilas. “ – lo gue bunuh.”
“Iya. Makasih buat izinnya. Gue minta dua hari dia tinggal disini. Gapapa kan?”
Mikey mengangguk dan kembali menyuruh peliharaannya itu melanjutkan permainannya yang tertunda tadi.
“Draken pergi lo makin gila ya Jiro.”
Chiyo baru saja membuka pintu langsung diserang pertanyaan.
“Gimana Ka?”
Chiyo mengangguk.
“Dua hari doang Mikey ngizinnya. Besok temenin cari apartment ya. Biar aku yang beli. Kita nikah.”
Perempuan itu tersenyum manis dan mengangguk. Membenarkan posisinya untuk tidur. Mengajak Chiyo juga untuk tertidur disampingnya.
“Selimutnya kamu aja yang pake. Aku udah biasa ga pake selimut ko.”
Yang disuruh ber-oh saja menyetujui suruhan Chiyo.
Chiyo tidak langsung tidur. Memikirkan cara agar ia saja yang dibunuh nantinya sebagai ganti.
“Ka. Buruan tidur.”
“Iya cantik iya. Aku tidur nih sebelah kamu.”
Chiyo dipeluk, merasakan kehangatan yang entah kapan terakhir ia rasakan.
“Sanzu. Lo mau beli apart daerah mana?” tanya Koko.
Chiyo dan teman-temannya kini tengah berkumpul di ruang kerja mereka. Memilih siapa lagi target yang akan mereka incar dan tembak mati beberapa hari berikutnya.
“Satu jam dari sini aja Ko, lo tau rekomendasi?”
Koko mengecek ponselnya, menekan beberapa tombol keyboardnya dan menelfon seseorang.
“Zu,” panggil Mikey.
Chiyo menghampiri Mikey.
“Cewe lo. Itu yang dulu lo kenalin ke kita-kita?”
“Iya. Kenapa?”
“Ajak kerja sama lo aja. Nyawa dia aman. Tapi lo, tetep bayarannya.”
“Ngaco. Gue ga bakalan ajak dia, biar gue aja.”
“Ya kali aja nanti dia kepo sama kerjaan lo? Sekarang cewenya dimana?”
“Masih di kamar gue.”
“Boleh main? Sebentar.”
Chiyo menggeleng, “Jangan sentuh. Aneh banget lo.”
Mikey menarik dasi yang dikenakan Chiyo, “Tiga puluh menit ya Sanzu, gue tunggu di ruangan gue. Ga ada penolakan.”
Mikey mencium Chiyo dan pergi meninggalkan ruang kerja.
“Zu. Udah nih,” ucap Koko.
Chiyo diperlihatkan pada gedung apartment yang lumayan besar jika hanya dihuni olehnya dan perempuan yang ia tolong dulu.
“Bisa sekarang gue kesana?”
Koko mengangguk, “Ada Inupi disana, nanti ambil aja kuncinya.”
“Masih ceritanya sama Inupi?”
Koko tersenyum sinis, “Ga bakalan gue lepas. Ga bisa.”
“Long last deh. Gue cabut dulu. Thanks ya by the way.”
“Anytime. Bro.”
Chiyo pergi meninggalkan ruang kerja menuju kamarnya.
“Ayo. Apartmentnya udah ada,” ajak Chiyo.
“Cepet banget?”
“Bukan aku yang urus, sama Koko jadi cepet.”
Perempuan itu mengangguk. Memakai jaket hitamnya dan tidak lupa masker hitam yang diberi Chiyo untuk bersembunyi, kali saja suruhan Papanya masih mencarinya.
Dingin menyelimuti kamar mereka. Padahal semua jendela tertutup bahkan AC dalam kamar mereka sama sekali tidak dinyalakan.
“Sayang. Aku sayang kamu.”
“Jangankan ka Chiyo. Aku aja sayang sama ka Chiyo.”
Kini mereka berdua diizinkan tidak bekerja. Chiyo mendapat diskon hari libur dari Mikey selama satu minggu ; sampai hari kematiannya datang.
“Seandainya ka Chiyo ga ada di pilihan itu. Memang pilihan kedua ka Mikey sebagai bayaran aku tinggal disana 4 tahun lalu apa?”
“Kamu ga perlu tau, cukup kakak sama Mikey aja yang tau.”
“Aku perlu tau, soalnya aku ada disana. Aku berikut campur.”
“Kamu dijadiin pajangan disana. Organ dalem kamu, Mikey suka organ dalem. Dia koleksi banyak, bahkan kakak angkatnya pun yang ga sengaja ketembak ada tuh jantungnya di kamar Mikey.”
Yang mendengar penjelasan itu hanya bisa menahan mual. Entah karena efek alkohol atau memang rincian itu yang membuatnya merinding.
“We should married.”
“We should die together.”
Chiyo menggeleng.
“I should. You should choose me. That's will be better.”
“No! Ka Chiyo jahat. Aku. Harus aku!”
“Sayang,” Chiyo mengusap lembut rambut hitam kekasihnya dan menggeleng.
Chiyo mendekatkan jarak diantara mereka berdua. Hembusan nafas terasa sangat dekat, bahkan detak jantung mereka bisa terdengar sangat jelas.
Chiyo melumat bibir kekasihnya, berniat menghapus semua rasa alkohol yang diminum beberapa jam lalu.
Kekasihnya membalas lumatan bibir Chiyo, menyeimbangkan kegiatan yang prianya tengah lakukan.
“Ade bantuin,” ucap kekasih Chiyo dengan senyuman manis dan mata sendu ciri khasnya. Membuat si pria semakin tertantang ingin melahap habis perempuan yang ada didepannya.
“Hmmng-hh kaa,” satu lengkuhan berhasil keluar dari mulut manis kekasihnya. Mencoba mengambil nafas yang hampir habis karena ciumannya yang menjadi lebih agresif.
Chiyo melepaskan tautan bibir diantara mereka berdua. Kembali menetralkan nafsunya agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
“Ka, you should fuck me and we can married after that.”
Chiyo kaget, tersenyum sinis, dan menggeleng dengan cepat.
“We should married than we can making love.”
“You can use me.”
“Engga. Ga boleh.”
“Punya kamu udah tegang. Padahal kita belum ngapa-ngapain.”
Chiyo segera menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidak membiarkan kekasihnya untuk melihat dirinya. Malu.
Si perempuan dengan sengaja ikut masuk ke dalam selimut. Sedikit turun kebawah dan memainkan milik Chiyo yang benar-benar sudah sesak didalam sana.
“Jangan pegang.”
Yang disuruh tidak mendengar. Pura-pura tuli dan melanjutkan kegiatannya.
Chiyo yang sebenarnya ingin hanya diam. Menikmati sentuhan tangan dari kekasihnya.
“Ah!”
Chiyo kaget.
Sangat.
Perempuannya memaksa mulut kecilnya untuk mengulum miliknya. Membiarkannya masuk seutuhnya tanpa sisa.
“Buruannn kalau mau di gerakin. Gue udah ga tahan!”
Kekasihnya menggerakan kepalanya maju mundur. Memanjakan milik Chiyo yang benar-benar sudah mengeras dan mungkin semuanya akan cepat keluar hanya dengan kuluman yang ia berikan.
Chiyo yang merasa tersiksa membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh kekasihnya. Mendorong tubuh si kecil agar dirinya bisa melihat jelas bagaimana perempuan kecilnya ini memanjakan dirinya.
“Kamu yang minta. Kamu jangan nyalahin kakak kalau besok ga bisa jalan.”
Yang mendengar hanya mengangguk patuh. Membiarkan Chiyo menjamah seluruh tubuhnya tanpa cela, memberikan segala akses masuk dan lampu hijau untuk memulai kegiatan lebih dari ini.
“Mau coba pake pisau? Atau kakak siksa kamu pake vibrator?”
“Will be better if you torture me with your Mr.D,” yang menjawab benar-benar memberikan respon yang membuat Chiyo kaget.
“I never taught you to speak like that, Honey. Siapa yang ajarin?”
Chiyo tengah mencari baju maid yang ia rasa kekasihnya pernah beli. Ia juga sebenarnya tidak terlalu tau alasan kekasihnya membeli satu set lengkap pakaian seperti itu, yang jelas Chiyo menyukainya.