First Meet
Selesai Bima dengan meeting dadakanya, dia langsung menelfon Mahendra. Sebenarnya kasus ini ia akui tidak akan sebesar dan serumit ini jika pihak sekolah berkenan langsung di periksa oleh polisi dan lembaga pendidikan negara.
Hanya saja, kepala sekolah serta donatur tetap SMAN JULAS dengan beberapa guru honorer yang di curigai membantu memperjual belikan soal serta jawaban ujian, kabur tanpa memberi tau kemana dan alasan apa yang membuat mereka pergi meninggalkan sekolah selama terblow upnya kasus ini di media-media kecil.
Sambungan pertemuan online sudah terhubung dengan Mahendra serta ada sesosok laki-laki dengan mimik wajah yang kurang ramah, sepertinya itu Haiqel, pikir Bima.
“Halo, Bang. Ini yang satu lagi itu Haiqel-Haiqel itu ya Bang. Dia best friend gue. Iya ga, Qel?” sambut Mahendra, bercanda.
“Biasa aja? Alay ah. Gue ga mau ikut-ikutan gini kan, Hen. Ini udah kali keberapa coba dan orang keberapa yang lo suruh gue jadi saksi mata atas tuduhan ini ke lo,” jawab si pria sipit itu dengan nada malas.
“Ya elah, Qel. Kan kata ibu gue lo harus backing gue, kan bokap lo intel Qel. Gue harus berlindung sama siapa lagi? Bokap ga punya, ibu cuman sendirian. Udah sakit-sakitan pula,” saut Mahendra membalas ucapan-ucapan temannya itu.
“Iyaaaa. Jangan bawa-bawa ibu. Gue sayang sama ibu, kalau sama lo ya gue juga sayang gara-gara ibu. Awas aja lo!”
Bima masih mematikan kamera dan hanya mendengarkan celotehan kedua orang yang akan memberikan beberapa fakta mengenai kasus ini.
“Halo. Selamat malam.”
Bima membuka kamera onlinenya dan menyapa Mahendra serta Haiqel, teman Mahendra.
“Malam, Bang.”
“Langsung aja ya? Kayaknya kalian juga lagi sibuk mau ngulang ujian besok.”
“Ko tau, Bang? Abang intel juga, ya?” tanya Haiqel dengan nada menggoda– bercanda.
“Engga, saya cuman kerja di bawah menteri pendidikan aja. Jadi ya mau ga mau saya harus tau soal kasus-kasus gini. Kebetulan juga Mahendra pacarnya adik saya, jadi ya saya langsung tanya aja.”
“Wiiih lo pacaran sama orang yang abangnya kerja di bawah pemerintah? Pantesan ga pernah tenang lo akhir-akhir ini.”
“Biasa aja? Gue bahkan ga tau kalau abangnya Tiara kerja di bawah menpen,” jawab Mahendra.
“Jadi gini, kan yang sedari kalian tau kalau sekolah kalian jadi salah satu sekolah dari lima sekolah yang kasus kecurangannya ketahuan sama pihak yang berwenang. Nah, sedari yang saya punya dan pegang siapa saja orang-orang yang terkena tuduhan atau memang menggunakan jasa itu, kebetulan ada Mahendra di dalemnya. Kata temen saya, itu nama pacar adik saya. Jadi saya disini mau tanya sama Mahendra perihal yang terjadi sebenarnya.”
Selama kurang lebih 1 jam 30 menit lamanya, Mahendra di tanya dan Haiqel pun sama dengan Mahendra terus di tanyai oleh siapa, apa, dan kenapa mengenai tujuan adanya joki atau seseorang di sekolah mereka yang memperjual belikan soal ujian serta kunci jawabannya.
“Intinya sih, Bang. Kepala sekolah sama ada satu apa dua guru baru tuh emang agak sus waktu mau ujian itu. Tiba-tiba guru honorer yang suka koar-koar karena gajinya kecil, tiba-tiba diem aja selama kurang lebih 2 mingguan sebelum ujian itu. Terus kepala sekolah jadi sering banget main ke kelas-kelas,” tambah Mahendra sebelum selesainya panggilan online tersebut.
“Baik, terima kasih atas fakta barunya. Selamat kembali berujian. Mahendra, saya titip Tiara. Kamu tau double A, kan? Kalau tidak salah ayah mereka berdua itu donatur tetap di sekolah?” tanya Bima.
“Alvina sama Alvin itu ya? Tau. Siapa sih bang yang ga tau mereka? Orang-orang yang sering di banggain sama sekolah, padahal baru masuk satu semester tapi pialanya dimana-mana,” celetuk Haiqel.
“Haiqel tuh bang. Mantannya Alvina,” tambah Mahendra.
“Bacot lo Hendra!”
“Ohh gitu. Ya sudah tidak apa-apa. Terima kasih sebelumnya sudah mau saya repotkan. Selamat malam.”
“Malam.”
Sambungan percakapan sudah di matikan. Bima segera membereskan meja kerjanya dan segera untuk pulang ke rumah.