al.


Malam ini hembusan angin kota Seoul cukup tidak bersahabat dengan kehadiran mereka; Soonyoung dan Jihoon ditempat pertama kali Soonyoung menyatakan perasaannya pada Jihoon. Terhitung sudah 7 tahun lamanya tempat ini tidak pernah lagi mereka daki bersama-sama. Masing-masing pikiran mereka tidak sama sekali menginginkan untuk mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi ini sendirian. Apalagi Soonyoung, dia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, mana ada waktu untuk mengahabiskan waktunya untuk sekedar hanya bersenang-sennag dan menghabiskan uang.

Sedangkan Jihoon, dia lebih baik menghabiskan waktu liburnya untuk bersitirahat atau pulang ke rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Dia sudah cukup lelah jika harus keluar dan menghabiskan energinya hanya untuk mendaki gunung. Sebenarnya jika di ajak sih Jihoon mau-mau saja. Tapi sayangnya siapa yang akan mengajaknya untuk mendaki gunung yang selalu dia bicarakan sebelum tidur itu. Orang lain saja tidak ada yang tau mengenai eksistensi gunung itu di kota sebesar dan sesibuk Seoul.

Jihoon menggenakan jaket hitam tebalnya, sedangkan Soonyoung sudah menganti jas yang dia pakai tadi dengan jaket hitam juga. Jihoon sengaja menggunakan masker untuk menutupi wajahnya, takut ada orang tidak bertanggungjawab yang ingin menjadikan dirinya dan Soonyoung sebagai bahan gosip. Maklum saja, selain sebagai seorang CEO muda yang karirnya sedang berada di puncak, Soonyoung dulu adalah seorang model yang cukup terkenal, dia juga memiliki 2 lagu yang pernah booming pada masanya.

“Sebelum naik mau beli makanan dulu di supermarket itu?” tanya Soonyoung sebelum mereka berdua mendaki gunung yang ada di hadapan mereka.

Jihoon mengangguk, “Saya mau beli air mineral botol sama roti sepertinya, pak.”

“Jangan panggil gue pak. Lo-gue aja, kaya biasa dulu kita ngobrol.” tutur Soonyoung dan berjalan mendahului Jihoon di depan.

Jihoon sedikit kaget namun paham maksud pria di hadapannya.

Mereka berdua berpisah di dalam supermarket dan berjalan melewati rak-rak makanan atau minuman yang tersedia di sana. Soonyoung yang sudah selesai dengan belanjaannya, melihat Jihoon berdiam cukup lama di depan chiller yang berisi banyak kue-kue cantik.

“Kenapa Ji?” Kehadiran Soonyoung membuat Jihoon terkejut. Dia langsung mengalihkan pandangannya, “Eh engga pak- eh maksudnya Soon. Gapapa kok.”

Soonyoung sepertinya benar-benar sudah berubah dan belajar dari dirinya yang dulu. “Kalau mau gapapa, ambil aja.”

Jihoon menggeleng dengan cepat, “Engga Soon, gapapa ayo. Udah selesai ko.” Jihoon berjalan menjauhi chiller menuju kasir dan membayarnya.

“Eh-eh. Udah sama gue aja bayarnya. ATM lo simpen. Ini kan gue yang ajak.” Soonyoung menahan tangan Jihoon saat dia hendak membayar belanjaannya.

“Eh? Engga. Ini ga sedikit Soon, gapapa gue aja.”

“Apa sih Ji. Engga sumpah gapapa, biar gue aja.” Soonyoung langsung menyodorkan kartu ATMnya dan memberikannya pada kasir. Dia tidak peduli jika nantinya Jihoon akan mentransfer balik uangnya atau tidak dia tidak peduli.

“Nanti uangnya gue ganti ya. Oh atau potong dari gaji gue juga gapapa ko.”

Soonyoung menggeleng, “Terima kasih, Mba.”

“Udah yuk.” Soonyoung mendorong Jihoon untuk keluar dan melanjutkan perjalanan mereka untuk mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi di depan mereka.

“Eh. Sebentar Ji, gue kebelet. Mau ke toilet sebentar.” Soonyoung berlari dan meninggalkan Jihoon di loket pembelian tiket. Dia menjaga barang-barang yang sudah Soonyoung belikan untuknya dengan baik.

Sedangkan Soonyoung hanya menjadikan ke kamar mandi itu sebagai alasan. Sebenarnya dia membeli beberapa kue yang Jihoon lihat cukup lama di dalam chiller. Dia memilih 2 kue strawberry, 1 kue coklat, 1 kue choco mint, dan 1 kue pisang coklat. Mungkin saja mereka nanti secara mendadak kelaparan, kue tersebut bisa langsung di makan. Apalagi Soonyoung melihat Jihoon hanya membeli dua air mineral dan satu roti berukuran sedang.

Kembalinya Soonyoung sontak membuat Jihoon berdiri tegak, “Eh-” ucapnya kaget.

“Ayo.” ajak Soonyoung.

Mereka berdua sudah membeli tiket masuk dan siap untuk mendaki gunung tersebut. Soonyoung dan Jihoon sama-sama tidak berbicara. Pendakian itu hanya di temani oleh suara hewan-hewan malam, ada juga hilir-mudik kunang-kunang yang menghiasi perjalanan mereka. Hembusan angin malam membuat Jihoon sesekali menghangakan badannya dengan mengusap-ngusap kedua tangannya dan di tempelkannya pada bagian badannya yang terasa dingin.

15 menit perjalanan akhirnya mereka sampai di tempat. Ternyata ada beberapa pengunjung yang juga sedang menikmati pemandangan lampu kota yang tidak pernah istirahat. Gunungnya memang tidak terlalu tinggi, namun lokasi gunung ini berada di atas. Maka dari itu Soonyoung dan Jihoon sebenarnya sudah berhenti beberapa kali untuk makan dan beristirahat atau sekedar untuk ke kamar mandi.

Soonyoung sudah menandai tempat yang sama persis seperti yang dulu dia injak saat menyatakan perasaannya pada Jihoon. Jihoon hanya bisa merasa geli jika mengingat-ngingat waktu itu. Dia malu juga karena sudah merasa benar dan menjelek-jelekki pria di hadapannya yang kini menjadi bosnya di tempat kerja.

“Gimana? Tempatnya masih sama kaya 7 tahun lalu kan?” tanya Soonyoung memecah keheningan di antara mereka berdua.

“Iya. Masih kaya dulu, ga berubah.” jawab Jihoon singkat.

“Gimana Ji, gue udah berubah kan? Review dong, rate gue berubahnya udah sejauh apa. Udah sesuai sama apa yang lo bilang dulu belum?”

Pertanyaan mengejutkan dari Soonyoung sontak membuat Jihoon tertawa ketir. “Gimana ya.. dulu gue beneran ga mikir dan asal jeplak aja. Maaf ya.”

“Kan gue udah bilang. No need to say sorry, Ji. Kalau lo ga bilang gitu ke gue, gue mana bisa berubah kaya sekarang. Thanks ya.”

“Sama-sama.”

Hening lagi.

Terlalu banyak hening di antara mereka berdua. Mungkin karena tidak lagi sering bertemu selain di kantor, maka pembahasan mereka mungkin tidak akan jauh dari pekerjaan jika bertemu.

“Lo berubah ko Soon. Sangat. Gue berterima kasih ke lo udah jadiin amarah gue dulu jadi acuan lo buat maju. Dulu, gue selalu ngeliat lo penuh dengan peluang. Tapi lo ga pernah ambil itu dan gue kesel setengah mati. Lo seolah-olah ngegampangin segala peluang yang lo punya. Makanya gue marah.”

Jihoon menjeda kalimat-kalimatnya. Dia meminum air mineral yang dia beli dan meneguknya sampai habis, “Bahkan. Gue malu kalau ternyata gue ga bisa ngelangkahin lo karena level lo cukup jauh dari level gue.”

“I never feel level gue lebih tinggi atau jauh dari lo Ji. Bahkan gue ngerasa lo itu manusia paling hebat yang gue kenal. Alasan lo tinggal di kontrakan itu karena gaji lo di kasih semua ke adik-adik lo dan orang tua lo kan?”

Jihoon cukup kaget mendengar Soonyoung; bosnya mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. “Eh gue ga kepo atau nyari tau ke temen-temen lo ko. Gue mengamati lo dari jauh aja.”

“Gapapa. Gue memang bener ko, ngasih semuanya ke keluarga gue. Selesai sarjana waktu itu, bokap gue ketipu habis-habisan. Total kerugiannya ga sedikit, semua aset yang bokap gue punya udah di jual. Sekarang mereka tingal di kontrakan yang yaaa.. bisa gue bilang kurang layak buat 4 orang di sana.”

Soonyoung mengamati dan mendengarkan benar-benar yang sedang Jihoon ceritakan.

“Gue tadinya ga pengen nerima kerja yang udah lo terima untuk gue ini. Gue malu. Gue udah terlalu sering marah-marahin lo, makanya gue pernah ngajuin resign. Tapi makasih, lo ga nge-accept ajuan resign gue. Mungkin, kalau gue resign, keluarga gue makin terpuruk dan hutang bokap gue ga lunas-lunas.”

“Adik lo itu Chan sama Seokmin kan? Mereka sekarang udah kerja atau gimana?”

“Chan, Puji Tuhan dapet beasiswa sampai lulus dari kampusnya. Sedangkan Seokmin kerja di perusahaan swasta yang gajinya pokoknya bisa nyukupin dia hidup.”

“Bokap nyokap lo?”

“Bokap gue kerja di kantor swasta juga, posisinya ga tinggi, cuman kurir anter barang aja. Kalau nyokap, dia dagang di deket rumah.”

“Ji..”

“Iya? Hidup gue terlalu menyedihkan ya? Lo bisa olok-olok gue ko Soon kalau merasa ga suka atau lo ngerasa gue ini dapet karma. That's okay.”

“Apa sih. Bukan.”

Soonyoung memegang pergelangan Jihoon, “Lo. Lo manusia paling hebat. Ga salah lagi gue tetep pengen lo sampai saat ini.”

“Pengen apa Soon? Gue ga punya apa-apa.”

“Bahkan gue bisa kasih lo dan lo bisa punya apa-apa.”

“Engga Soon. Gue ga enak.”

Soonyoung menangkup wajah Jihoon, “Engga. Lo ga boleh ngomong gitu. Lo itu manusia yang paling berperan penting buat kehidupan gue Ji. Kalau lo ga marah-marah soal gue yang males-malesan dari semasa SMA, gue ga bakalan tau sampai sekarang rasanya berdiri atas keberhasilan sendiri. Ji. Lo manusia paling hebat yang gue kenal.”

“Makasih,” ucap Jihoon lalu tersenyum.

Lagi-lagi mereka hening. Soonyoung sebenarnya lebih sibuk dengan jantungnya yang terus berdegup kencang karena rencananya yang ingin melamar Jihoon waktu itu juga.

Dia terus merogoh saku jaketnya untuk mencari kotak berisi cincin yang dia bawa.

“Nah!” Jihoon melirik pada Soonyoung.

“Jihoon.” Soonyoung meraih tangan Jihoon. Dia selipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, “You always look so beautiful in everyinch. Cantik lo ga pernah pudar.”

Jangan tanya kondisi Jihoon sekarang. Kedua pipinya benar-benar memerah. Dia malu karena terus di puji.

“Ji. Gue sebenarnya malu bilangnya. Tapi. Seperti apa yang lo bilang sewaktu kita sekolah terus kuliah dan ketemu lagi di kesempatan kita di dunia kerja. Now we are equal and both adults. I thank you for all your anger and concern. So, can I be your life partner now?” ucap Soonyoung berbarengan dengannya mengeluarkan satu cincin dalam kotak berwarna merah tersebut.

Jihoon tidak bisa lagi berkata-kata. Dia menangis dan tidak percaya bisa kembali pada manusia yang sebenarnya dia nantikan lagi eksistennya berlalu-lalang dalam kehidupannya. Soonyoung terus menunggu jawaban apa yang akan di berikan oleh Jihoon.

Jihoon mengangguk, “Yes, you can and we will go back to learning together.”

“YAAASHHH GOD!! THANK YOU!!”

Soonyoung memasangkan cincin itu pada jari manis pria di hadapannya. Dia benar-benar bahagia sampai orang-orang di sana melirik ke arah mereka berdua. Jihoon malu karena tempat mereka menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat.

“Jihoon.. Thank you. Makasih banyak.” Soonyoung memeluk Jihoon dengan perasaan sangat bahagia. Begitupula Jihoon, dia masih terus menitikkan air mata bahagianya dalam pelukan sang calon partner hidupnya.


Selesai membalas pesan Mingyu bahwa dia akan mengajaknya untuk keluar dan sedekar mengobrol, Soonyoung sudah meminta izin pada kekasihnya yang ternyata tertidur di pangkuannya.

“Sayang..” panggil Soonyoung pelan, tepat pada daun telinga kekasihnya, Myungho.

Kekasihnya yang sudah setengah tertidur tidur membalas panggilannya dengan berdehem.

“Aku mau di ajak Mingyu keluar. Kamu tidur sini ya, duluan. Aku ga bakalan lama ko,” katanya.

Myungho yang mendengar samar-samar suara kekasihnya, mengiyakan perkataannya dengan anggukan.

“Udahnya pulang sini ya.. Jangan ke kak Jihoon.”

Seperti tau apa yang terjadi, Soonyoung terkejut mendengar kekasihnya menjawab seperti itu.

“Iya sayang. Aku ga ke Jihoon, aku pulang ke kamu. Aku pamit ya.” Soonyoung mencium pucuk kepala kekasihnya bersamaan dengan suara pintu yang di ketuk.

Soonyoung menghampiri sumber suara, dia membuka pintu dan keluar dari kamar. Mingyu sudah datang, ternyata jarak hotel tempat dia menginap tidak terlalu jauh dengan hotel yang menjadi tempat inap Mingyu – sahabatnya.

“Udah izin Myungho?” tanyanya memastikan.

Soonyoung mengangguk, “I guess he's know everything about me deh Gyu.”

“Kenapa?”

“Barusan, waktu gue izin buat keluar sama lo dia bilang jangan pulang ke Jihoon.”

Mingyu sedikit terkejut, “See? He's really loves you Soon. Jangan kecewain dia.”

“I won't.”

Mingyu dan Soonyoung akhirnya pergi menjauh dari hotel. Mereka sudah memilih satu bar dan Mingyu sudah memesan satu table untuk mereka berdua.

“Mau minum apa?” tanya Mingyu saat mereka sudah sampai di tempat.

“Apapun.”

Mingyu pun memesan beberapa minuman untuk menemani acara bincang kedua sahabat ini.

“Gimana Soon?” tanya Mingyu membuka percakapan.

“Gue serius sama Myungho ko Gyu, sumpah.”

Percakapan mereka terus berlanjut sampai Soonyoung sedikit mabuk. Mingyu yang tau kondisi sahabatnya itu sudah sedikit mabuk, dia terus menanyakan hal yang menganjal pikiran sahabatnya.

“Itu kontak Jihoon di lo apa?”

Soonyoung menguap, “Lo aja nih liat sendiri.”

“Gue ganti. Udah nama biasa aja. Alay banget di namain ex-b.”

Soonyoung mengangguk karena sudah 100% mabuk dsn tertidur di samping Mingyu.

“Soon-Soon.. bener-bener deh lu..”


Selesai membalas pesan Mingyu bahwa dia akan mengajaknya untuk keluar dan sedekar mengobrol, Soonyoung sudah meminta izin pada kekasihnya yang ternyata tertidur di pangkuannya.

“Sayang..” panggil Soonyoung pelan, tepat pada daun telinga kekasihnya, Myungho.

Kekasihnya yang sudah setengah tertidur tidur membalas panggilannya dengan berdehem.

“Aku mau di ajak Mingyu keluar. Kamu tidur sini ya, duluan. Aku ga bakalan lama ko,” katanya.

Myungho yang mendengar samar-samar suara kekasihnya, mengiyakan perkataannya dengan anggukan.

“Udahnya pulang sini ya.. Jangan ke kak Jihoon.”

Seperti tau apa yang terjadi, Soonyoung terkejut mendengar kekasihnya menjawab seperti itu.

“Iya sayang. Aku ga ke Jihoon, aku pulang ke kamu. Aku pamit ya.” Soonyoung mencium pucuk kepala kekasihnya bersamaan dengan suara pintu yang di ketuk.

Soonyoung menghampiri sumber suara, dia membuka pintu dan keluar dari kamar. Mingyu sudah datang, ternyata jarak hotel tempat dia menginap tidak terlalu jauh dengan hotel yang menjadi tempat inap Mingyu – sahabatnya.

“Udah izin Myungho?” tanyanya memastikan.

Soonyoung mengangguk, “I guess he's know everything about me deh Gyu.”

“Kenapa?”

“Barusan, waktu gue izin buat keluar sama lo dia bilang jangan pulang ke Jihoon.”

Mingyu sedikit terkejut, “See? He's really loves you Soon. Jangan kecewain dia.”

“I won't.”

Mingyu dan Soonyoung akhirnya pergi menjauh dari hotel. Mereka sudah memilih satu bar dan Mingyu sudah memesan satu table untuk mereka berdua.

“Mau minum apa?” tanya Mingyu saat mereka sudah sampai di tempat.

“Apapun.”

Mingyu pun memesan beberapa minuman untuk menemani acara bincang kedua sahabat ini.

“Gimana Soon?” tanya Mingyu membuka percakapan.

“Gue serius sama Myungho ko Gyu, sumpah.”

Percakapan mereka terus berlanjut sampai Soonyoung sedikit mabuk. Mingyu yang tau kondisi sahabatnya itu sudah sedikit mabuk, dia terus menanyakan hal yang menganjal pikiran sahabatnya.

“Itu kontak Jihoon di lo apa?”

Soonyoung menguap, “Lo aja nih liat sendiri.”

“Gue ganti. Udah nama biasa aja. Alay banget di namain ex-b.”

Soonyoung mengangguk karena sudah 100% mabuk dsn tertidur di samping Mingyu.

“Soon-Soon.. bener-bener drh lu..”


Selesai membalas pesan Mingyu bahwa dia akan mengajaknya untuk keluar dan sedekar mengobrol, Soonyoung sudah meminta izin pada kekasihnya yang ternyata tertidur di pangkuannya.

“Sayang..” panggil Soonyoung pelan, tepat pada daun telinga kekasihnya, Myungho.

Kekasihnya yang sudah setengah tertidur tidur membalas panggilannya dengan berdehem.

“Aku mau di ajak Mingyu keluar. Kamu tidur sini ya, duluan. Aku ga bakalan lama ko,” katanya.

Myungho yang mendengar samar-samar suara kekasihnya, mengiyakan perkataannya dengan anggukan.

“Udahnya pulang sini ya.. Jangan ke kak Jihoon.”

Seperti tau apa yang terjadi, Soonyoung terkejut mendengar kekasihnya menjawab seperti itu.

“Iya sayang. Aku ga ke Jihoon, aku pulang ke kamu. Aku pamit ya.” Soonyoung mencium pucuk kepala kekasihnya bersamaan dengan suara pintu yang di ketuk.

Soonyoung menghampiri sumber suara, dia membuka pintu dan keluar dari kamar. Mingyu sudah datang, ternyata jarak hotel tempat dia menginap tidak terlalu jauh dengan hotel yang menjadi tempat inap Mingyu – sahabatnya.

“Udah izin Myungho?” tanyanya memastikan.

Soonyoung mengangguk, “I guess he's know everything about me deh Gyu.”

“Kenapa?”

“Barusan, waktu gue izin buat keluar sama lo dia bilang jangan pulang ke Jihoon.”

Mingyu sedikit terkejut, “See? He's really loves you Soon. Jangan kecewain dia.”


Selesai membalas pesan Mingyu bahwa dia akan mengajaknya untuk keluar dan sedekar mengobrol,


Kemarin dia mendengar bahwa sang kekasih tiba-tiba pusing dan kembali merasa tidak enak badan. Padahal, malam hari sebelumnya dia meminta kekasihnya untuk pergi bekerja saja dan janji akan menjemputnya di jam pulang kerja.

Jihoon sibuk menganti kompresan yang menutup dahi kekasihnya, Soonyoung, agar suhu tubuhnya menjadi lebih turun dan sedikit menggurangi rasa sakit.

“Kemarin kan aku udah bilang sama kamu Soonn. Kalau masih sakit itu jangan suruh aku pulang, jangan suruh aku kerja, aku bisa ko ngerawat kamu kalau sakit kaya kamu ngerawat aku.” Meskipun tengah sakit, tidak sedikitpun omelan Jihoon ini luput dari pendengarannya.

“Iya sayang, aku minta maaf. Aku kira kan kemarn beneran udah enakan dan bisa sendiri di rumah. Lagian seriusan deh, Chan bisa suruh aku ke sini daripada diem di rumah.”

Jihoon bercedak, “Bukannya aku ga percaya sama adik kamu Soonyoung. Kan rumah ku juga deket sama apart kamu, ga susah buat aku kalau harus nginep di sini.”

“Iya-iya maaf. Aku ga enak nyusahin kamu terus..”

“Nyusahinnya bagian mana? Kalau kamu anggap selama ini kamu nyusahin aku, ngapain aku masih bertahan sama kamu sampai sekarang?”

Soonyoung tidak merespon perkataan sang kekasih, dia hanya mengangguk-angguk karena merasa kepalanya yang kembali pusing.

“Obat yang kemarin di kasih dokter Kim udah habis ya?”

Soonyoung mengangguk. “Ya udah pake jaketnya. Kita sekalian cek lagi ke dokter, aku udah telfon dokter Kim tadi siang.”

“Engga sayang.. aku gapapa.”

“Soonyoung. Dengerin aku. Sekali aja.”

Soonyoung mengerucutkan bibirnya, “Males sumpahh.”

“Kalau sembuh aku mau deh itu sama kamu. Aku turutin keinginan kamu beberapa minggu lalu itu,” ucap Jihoon di susul dengan kecupan singkat di dahi Soonyoung.

“Memangnya aku minta apa?”

“Jangan pura-pura lupa ya! Buruan pake jaketnya, aku mau minum sebentar ke dapur.”

Soonyoung menarik lengan Jihoon. Alhasil, Jihoon jatuh tepat di pelukkan sang kekasih. Dia tidak sama sekali menolak atau memaksa untuk di lepaskan.

“Janji pas aku udah sembuh mau ya?” tanyanya lagi, memastikan.

Jihoon mengangguk, “Iya. Udah buruan, badan kamu panas gini aku ga kuat kalau di rangkep terus.”


Yang semula semuanya berjalan baik-baik saja dan Soonyoung pun enggan merasa lebih kesal dengan dengan sang kekasih, secepat kilat berubah dengan cepat hanya karena Jihoon yang enggan memberitahu alamat hotel kepadanya.

Tapi, menurut Soonyoung dengan dia membelakan segala pekerjaannya untuk dibackup oleh orang lain hanya untuk Jihoon adalah sebuah bentuk nyata bahwa dia benar-benar mencintai dan menyayangi kekasihnya.

Namun menurut Jihoon hal tersebut tidak seharusnya terjadi. Menurutnya, hal yang dilakukan kekasinya adalah suatu hal bodoh karena harus meninggalkan apa yang menjadi bagian besarnya hanya untuk dirinya.

Soonyoung bukan tidak percaya pada Jihoon sejak kejadian dimana dia dikirimi foto dan beberapa pernyataan oleh sahabatnya, Mingyu. Dia hanya takut dan kembali membangkitkan sikap posesif dan overprotektif yang dia miliki dan sering terjadi pada seseorang yang berarti di kehidupannya.

Jihoon sendiri merasa Soonyoung seperti ini namun salah mengartikannya. Soonyoung sendiri belum menceritakan beberapa kejadian kelamnya pada Jihoon dan kejadian yang membuat dirinya mempunya triger perihal hal-hal mendua dan kehilangan.

Iseul, anak semata wayangnya sendiri pun sudah lelah menghadapi sikap ayahnya yang memang nyata terjadi seperti itu sejak dulu. Dia hanya bisa mempercayai alam dan semesta bahwa nanti ayahnya akan berubah menjadi lebih santai dan percaya pada orang-orang di sekitarnya.

Kembali pada Jihoon dan Soonyoung. Percakapan via sambungan telfon yang tadinya enggan terjadi di antara mereka berdua, Jihoon pada akhirnya mengangkat telfon dari Soonyoung.

“Gimana jadinya? Mau kirim alamat hotel mu atau engga?” Soonyoung langsung menyodorkan pertanyaan yang membuat Jihoon benar-benar geram di buatnya.

“Mas nanyain alamat hotel ku terus buat apa?” jawab Jihoon sedikit terbata-bata karena merasa terintimidasi oleh suara Soonyoung di sebrang sana.

“Susah? Sesusah itu cuman kirim alamat doang? Gila. Cowo itu nginep sama kamu? Sekamar sama kamu 'kan?” Lagi-lagi pertanyaan gila yang sudah seringkali Jihoon jawab sejujur-jujurnya.

“Demi Tuhan, Mas. Aku ga ada sama sekali tinggal sama orang lain. Aku tidur sendirian di sini!”

“TERUS AKU GA BISA TIDUR SAMA KAMU DISANA GITU?!” teriakan Soonyoung dari sebrang sana membuat air mata yang sudah susah payah Jihoon tahan tak lagi bisa tertahan.

“Jangan teriak-teriak kan bisa?! Aku cuman mau istirahat aja mas disini. Kenapa sih? Kamu kenapa mesti teriak?”

“YA ANJING! TINGGAL JAWAB APA SUSAHNYA SIH ANJING?!”

“SOONYOUNG! STOP TERIAK ANJING! GUE UDAH KIRIM ALAMAT HOTEL LEWAT CHAT. SINI DATENG ANJING! CACI MAKI GUE DEPAN MUKA GUE! ANJING LO!”

Jihoon langsung mematikan telfon secara sepihak. Dia benar-benar sedih dan berteriak memaki dirinya bodoh.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA ANJING! APAAN SIH KWON SOONYOUNG BAJINGAN. GUE CUMAN MAU TENANG ANJINGGGGGG!!”

Jihoon terus memaki-maki Soonyoung sampai energinya terkuras habis. Membuat dirinya lebih cepat memejamkan mata karena air matanya yang memaksa dirinya untuk tertidur demi menetralkan emosinya.


Jihoon sudah meminta izin dan memberitahu kekasihnya- Soonyoung, untuk mengizinkan dirinya mengiyakan ajakan sang teman yang mengajaknya berjalan-jalan ke daerah Shibuya.

Teman semasa SMA Jihoon ini benar-benar menemaninya sepanjang karirnya selama ini. Kehidupan Jihoon pun jauh dia lebih ketahui dan saksikan di banding dengan Soonyoung yang sudah mengetahui Jihoon sebagai Woozi. Tapi, menurut Jihoon mereka berdua sama saja. Sama-sama berjasa dan berharga bagi hidupnya.

“Lo udah izin kan sama pacar lo buat kita jalan-jalan?” Pria dewasa di hadapan Jihoon itu bertanya sambil sibuk memasangkan tali-tali pada bolongan sepatunya.

“Udah ko, dia juga ngebolehin. Tapi baliknya jangan sore-sore ya? Gue pengen ngajak Soonyoung video call-an. Katanya dia kangen,” jawab Jihoon disusul dengan menyeruput habis sisa-sisa air dari dalam kaleng cola berwarna merah.

“Oke. Yuk jalan.”

Jihoon dan pria itu berjalan bersebelahan. Jihoon menceritakan beberapa life update pada pria tersebut sambil mereka berjalan menuju stasiun untuk menuju ke tempat yang mereka ingin datangi.

Sebelumnya Jihoon dan pria itu membeli beberapa bahan masakan. Mengingat hari ini dia sudah menjadi tamu spesial dari acara reuni teman-teman semasa SMA-nya di Shibuya.

Bagi Jihoon, kembali berjumpa dengan teman-teman dari masa-masa terpuruknya merupakan suatu keharusan, suatu anugerah karena dirinya bisa kembali bercengkrama dengan mereka.

“Ji, kabar lo sama pacar lo? Soonyoung? Itu gimana? Udah ada progres ke arah pernikahan belum? Atau mungkin rencana saling berkeluarga?”

Jihoon mengangguk malu, “Doain aja. Gue sama dia lagi sama-sama saling percaya.”

“Amin.. semoga langgeng dan lancar ya.”

“Lo gimana sama pacar lo yang sekarang? Gue denger-denger katanya lo habis di selingkuhin. Emang bener?”

Pria disamping Jihoon itu tertawa terbahak, “Kadang hidup tuh kalau dipikir-pikir memang securang dan sejenaka itu Ji. Gue yang cape-cape nyembuhin dia, eh dia malah selingkuh cari penyakit lain.”

“Aaaaaa.. sorry.. Gue ga tau.”

“It's oke. Lo kan baru juga balik lagi ke sini setelah sekian lama.”

Dari arah belakang mereka berdua yang sedang asik bercengkrama, ada seseorang yang sepertinya mengenali Jihoon dan sengaja memotret keduanya yang tak sengaja tertangkap kamera tengah bergandengan.

“Barang bagus.”

Jihoon dan pria itu akhirnya sampai di stasiun dan mereka menaiki kereta menuju tempat tinggal si pria ini dulu untuk menyimpan bahan masakan dan akan kembali melanjutkan perjalanan ke tempat yang di tuju, yaitu Shibuya Sky.


Matahari mulai meredup, cahayanya mulai berubah menjadi orange pekat. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.

“Kita balik yuk, gue masih harus video call cowok gue,” ajak Jihoon sambil menarik pelan tangan pria tinggi di sampingnya.

“Wait- ” pria itu berdiri di depan Jihoon, mengeluarkan ponselnya dan terdengar suara kamera. “– nanti gue kirimin. Ya kali jauh-jauh ke sini lo ga kasih foto ke pacar lo itu.”

Jihoon tersenyum dan berterima kasih. Dia sangat senang bisa bernostalgia, menghabiskan banyak waktu bersama dengan orang yang pernah hidup lama dalam kisahnya.

“Ji- ” pria itu meraih pergelangan tangan Jihoon, “– the sunset is beautiful isn't it?”

Jihoon dengan segera pelepaskan gengaman tangan pria tersebut, “Kita udah selesai 6 tahun yang lalu, kak. Jangan kaya gini, kita sama-sama udah punya pasangan.”

“Memangnya ga bisa ya Ji, kita sama-sama lagi meskipun kita udah punya pasangan?”

“Kamu ngajak aku selingkuh? Otak kamu dimana kak? Gila.” Jihoon meninggalkan pria itu dan berlari sebisa mungkin untuk menghindari kata-kata manipulatif yang mungkin akan berakhir buruk untuk dirinya.

“Jihoon! Tunggu. Gue bercanda. Biarin gue anterin lo pulang!”

Jihoon berhenti, menunggu pria itu ada di sampingnya dan kembalilah mereka berjalan tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka.

“Sorry ya Ji. Hati-hati di jalan,” pamit pria itu sebelum berpisah arah dengan Jihoon.

Jihoon mengeluarkan ponselnya yang dia simpan di dalam saku celananya.

“SIALAN!” Jihoon mengocok-ngocok ponselnya dan terus menekan tombol on-off pada ponselnya. “Sialan. Bisa-bisanya gue lupa pinjem powerbank ke itu orang.”

Jihoon berjalan menyusuri kota saat keluar dari stasiun untuk segera mengisi daya ponselnya. Sengaja membeli powebank dan menunggu ponselnya sedikit terisi.

Sesampainya di tempat penginapan, dia melihat banyak sekali pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Soonyoung, Iseul, maupun teman-teman kerjanya. Dia sudah aja janji, namun bagaimana bisa dia melupakan janji-janji itu dan meninggalkannya.

Jihoon buru-buru menelfon Soonyoung, berharap kekasihnya itu belum tidur.

“Soonyoung.. please.. angkat..”

Sudah terhitung 7 kali Jihoon menelfon Soonyoung namun nihil tanpa jawaban. Bahkan pesannya saja tidak dia baca, padahal Soonyoung sedang online.

“Apa dia marah ya? Tapi kan gue habis baterai..”

Di percobaan ke-10 akhirnya Soonyoung mengangkat telfonnya.

“Mas, aku minta maaf.. baterai hp ku habis ga sempet pinjem powerbank punya temen ku waktu jalan-jalan tadi.. Aku minta maaf ya..”

Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya, “Mas? Halo?”

“Jihoon. Kamu jalan sama siapa sampai rangkul-rangkulan?” tanya Soonyoung pedas. “Temen ku, mas. Tadi kan udah aku jelasin di chat, udah aku vn juga.”

“Ga percaya.”

“Sayang.. aku serius. Aku ga bohong.”

“Dia mantan kamu kan? Aku udah berusaha loh percaya kamu, kamu kenapa gini Jihoon?”

“Mas.. Aku ga bohong ko.. Aku berani sumpah, mas to-”

“Jangan sumpah-sumpah Ji. Kamu bisa kan pegang janji? Kamu kenapa mesti gini sih? Aku sayang banget sama kamu.”

Jihoon tidak langsung menjawab pernyataan Soonyoung. Dia bingung harus bagaimana lagi menjelaskan kesalahpahaman itu, “– mas, aku mau tanya.”

“Kenapa?”

“Kamu dapet ulasan kaya gitu darimana? Kamu kan ga di sini. Kamu juga ga tau 'kan, apa yang sebenarnya terjadi.”

“Jadi bener? Kamu selingkuh?!” Ada sedikit penekanan pada kata selingkuh.

“Engga.. mas. Untuk apa aku selingkuh di sini? Aku kerja.”

“Switch ke video call kalau gitu. Tolong tour kamar kamu itu.”

“Oke.”

Jihoon menuruti perintah kekasihnya, dia memperlihatkan suasana kamar tidurnya yang bernuansa hangat. “Udah. Kamu liat kan? Aku sendiri, Mas.”

“Aku takut, Ji. Makanya ga percaya.”

“Mas.. tolong percaya.”

“Aku susul, boleh?”

“Mas. Kalau aku di susulin terus, Iseul kesepian di rumah. Ga usah.”

“Kan. Bener kan kamu selingkuh?”

“Demi Tuhan Mas. Engga.”

“Udah lah.”

“Mas!”

Sambungan telfon terputus, Jihoon menangis tidak percaya Soonyoung tidak percaya padanya dan memilih untuk tidak mendengarkan penjelasannya.

Jihoon mengirimkan pesan pada rekan kerjanya di studio, dia akan izin untuk hari ini dan akan kembali ke sana besok. Dengan alasan tidak enak badan.


Jihoon menghadapi dirinya yang harus menemui atasannya di sela-sela pekerjaan yang tengah menumpuk karena beberapa hari lalu, kantornya mengalami kerugian cukup besar, dan hal itu di lakukan oleh bagian dari keluarga kantor dimana dirinya bekerja saat ini.

Jihoon tidak habis pikir, mengapa selalu dirinya yang dijadikan bulan-bulanan di bagian divisinya bekerja. Bagaimana dengan teman-temannya yang lain? Apa mereka juga akan mendapatkan teguran sebanyak atasannya menegur dirinya padahal tidak salah?

Bagi Jihoon, kantor ini seperti kandang yang mau tidak mau dirinya yang harus keluar. Tapi, ada beberapa kendala dan alasan besar mengapa dirinya enggan untuk keluar terlebih dahulu dan memutuskan kontrak pekerjaan dengan kantornya.

Jihoon sudah memasuki lift dan bertemu beberapa temannya dari bidang yang berbeda. Ada Ten dan Doyoung, mereka terlihat sangat bahagia dengan pakaian yang terlihat mewah dan mimik wajah, riasan-riasan tipis yang masih sempat mereka habiskan disela-sela waktu bekerja yang padat.

“Eh, Jihoon? Mau ketemu siapa di lantai atas?” tanya Ten yang sibuk dengan beberapa berkas yang tengah dia pegang.

“Eh, gue mau ke ruang waktor. Lo mau kemana sama Doyoung?” Jihoon sebisa mungkin menjawab dengan nada bicara seperti orang akrab. Padahal nyatanya ini hanyalah basa-basi.

“Ke ruangan lo, habis dari waktor juga sih kita. Oh ya nanti lo jangan nangis,” ucap Ten.

“Memangnya kenapa? Apa dia bakalan pecat orang-orang kaya gue?” tanyanya.

Ten dan Doyoung tersenyum sambil saling bertatapan, “Sebisa mungkin, kasih alasan dan bantah aja selagi lo masih butuh kerja. Dia kayaknya lagi main-main deh atau mungkin ngecek kinerja karyawan setiap divisi. Ini kita berdua juga habis di panggil suruh resign.”

Jihoon sedikit ketakutan, apakah wakil direkturnya ini mengetahui fakta sebenarnya tentang dirinya? Atau mungkin memang benar apa yang dikatakan Ten tadi?

“Oh ya? Ko bisa gitu sih?” tanyanya mencoba memastikan.

Doyoung mengangguk, “Tapi saran gue sih mending lo bantah aja sih kalau di suruh resign atau apapun itu. Meskipun lo punya tujuan lain di kantor ini, misal kaya lo yang pengen sebenarnya kerja di bidang musik. Itu ga menutup kemungkinan lo bakalan milih kerja disini ko.”

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai 4, Jihoon berpamitan pada kedua temannya dan melangkahkan kakinya keluar menuju ruangan yang sudah dia tuju.

Semoga ga ada yang aneh-aneh setelah gue masuk ke dalem. Amin, batinnya.

Tok.. tok.. tok..

Jihoon sopan memasuki ruangan tersebut. Ada seseorang mengenakan jas tengah duduk di sofa yang menghadap ke luar jendela. Dia berbalik dan tersenyum pada Jihoon.

“Silahkan duduk, Jihoon.” Jihoon mendudukan dirinya di kursi yang tepat berhadapan dengan pria yang usianya tidak terpaut jauh dengan dirinya.

“Jadi saya langsung saja ya. Mungkin kamu merasa aneh karena saja secara mendadak mengundang kamu untuk menghadap saya. Tapi saya tawarkan, bagaimana jika kamu memilih untuk resign dari sini dan saya berikan beberapa hal yang kamu inginkan.”

Jihoon menundukan dirinya, memainkan jari-jarinya merasa gugup dan takut dirinya akan di pecat secara tidak terhormat di kemudian hari.

“Saya boleh tanya alasan bapak menyuruh saya untuk resign?”

“Sebenarnya saya selama ini melihat kinerja orang-orang yang bekerja di sini. Dan kamu adalah salah satunya. Saya dengar dan mendapat laporan dari Jeonghan soal kamu yang selalu menunda-nunda pekerjaan. Benar?”

Jihoon membelalakan kedua matanya, “Sejak pertama kali saya masuk ke sini. Saya ga pernah nunda-nunda pekerjaan yang di kasih ke saya pak. Tapi, soal orang-orang yang nitip pekerjaan ke saya itu yang ga pernah mereka ambil dan lanjutkan sendiri.”

“Ya.. apapun itu alasannya saya tidak ingin mendengarnya. Saya percaya pada Jeonghan dan Seungcheol soal mendidikan rekan-rekan sedivisinya.”

Jihoon mengatur emosinya. Bagaimana bisa dia yang disalahkan padahal sebagian pekerjaan Jeonghan saja ada pada dirinya dan dia suruh kerjakan. Lalu kenapa Jihoon yang harus di salahkan?

“Tapi pak, sekali lagi, saya ga perna nunda-nunda pekerjaan. Sumpah. Saya berani sumpah.” jelas Jihoon banyak penekanan.

“Pikirkan dulu saja Jihoon. Kamu memiliki adik bukan? Saya dengar juga katanya kamu tidak ingin bekerja di kantor seperti ini?” tanya pria di hadapannya ini dan mengeluarkan beberapa dokumen berisi profil tentang dirinya.

Jihoon membaca teliti berkas-berkas itu, “Bapak tau ini semua dari siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan HRD dan orang-orang suruhan saya? Saya punya sekali profil seperti ini.”

“Ini namanya abose of power pak. Kenapa anda seperti ini?!”

“Saya atasan kamu, Jihoon. Silahkan keluar dan pertimbangkan kembali.”

“Tapi pak-”

Pria itu membalikkan badannya dan memungungi Jihoon. Gerak untuk mengusirnya dan enggan kembali membuka ruang obrolan dengannya.

Jihoon dengan perasaan berat hati keluar dari dalam ruangan tersebut dan menangis.

Dia hanya memikirkan nasib kedua adiknya jika dia resign. Bukankah ini secara tidak langsung dia di pecat?

Tidak sedikit orang-orang di dunia ini berpikir bahwa, jatuh cinta, jatuh hati, cinta pada pandangan pertama, cinta seutuhnya dan cinta sampai mati itu suatu hal yang berbeda. Tapi sampai detik ini aku masih belum pernah merasakan apa yang membedakan dari kelima perasaan tersebut.

Contohnya seperti malam ini. Aku tengah terdiam, terduduk, di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang. Saling mengandeng pasangannya untuk menyambut dan merayakan hari kasih sayang dengan suka cita. Seperti tidak ada hari esok untuk saling menyatakan cinta dan rasa sayang pada masing-masing belahan jiwanya.

Masih belum ada balasan dari seseorang yang aku tunggu kehadirannya. Di tempat ini, aku dan dia untuk pertama kalinya bertemu. Dia meminjamkan ku jaketnya, karena pada saat itu aku sedang berada di keadaan yang tertekan.

Keadaan yang memaksa ku untuk terus berlari, berlari, terus berlari, tanpa tau dan entah diziinkan atau tidak aku untuk beristirahat.

Cuaca malam hari itu tiba-tiba turun hujan. Meski tidak besar dan butuh beberapa waktu untuk membuat jalanan basah, hujan kali ini bisa membuat siapa saja jatuh sakit setelahnya.

Kenapa? Karena kebanyakan orang bilang dan entah itu fakta atau bukan. Kondisi hujan yang gerimis bisa membuat siapa saja sakit jika kepalanya terkena air dari tetesan mereka.

Jam tangan ku sudah menunjukkan pukul 8 malam lebih 30 menit. Berarti, sudah lebih dari 4 jam aku menunggunya disini. Janji kami bertemu memang jam 4 sore, meskipun kata orang itu waktu yang pas untuk bermalas-malasan, menurut ku itu satu waktu yang tidak bisa aku lupakan.

Waktu dimana dia memberikan ku beberapa tangkai mawar merah untuk merayakan hari lahir ku pada bulan November beberapa tahun lalu.

Tapi sayangnya, pemberian rutin setiap tahun mengenai bunga mawar merah, hanya terlaksana sampai ulang tahun ku 2 tahun lalu.

Dia sudah sangat sibuk sampai dengan detik ini.


“Jihoon. Kenapa kamu masih disini? Apa ga bisa langsung pulang kalau aku ga nemuin kamu?”

Seseorang disana seperti berbicara dengan ku. Mungkin aku bermimpi seseorang yang ku tunggu sudah datang.

“Jihoon! Bangun. Jangan tidur disini, hujan.”

Aku masih belum ingin membuka mata ku, mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya dia berbicara dengan ku.

“Astaga. Lee Jihoon! Bangun. Aku ga mau kamu mati kedinginan disini!”

Seperti disadarkan oleh mimpi. Aku merasakan seseorang mengoyang-goyangkan tubuh ku. Berusaha membangunkan ku.

“Jangan tidur disini. Kamu kan bisa tunggu aku di rumah atau apartment. Aku belum ganti kunci sandi apartment dan kunci pintu juga masih sama letaknya. Jangan buat aku khawatir, Lee Jihoon.”

Belum sepenuhnya kesadaran ku terkumpul, tanpa sadar aku memeluk seseorang yang membangunkan ku tadi. Aku menangis, tanpa sadar aku menangis. Mungkin aku benar-benar gila karena merindukannya.

“Soonyoung. Kalau kamu mau ninggalin aku untuk selamanya karena aku rese dan terlalu polos untuk kamu. Aku gapapa. Tapi, boleh aku minta satu kesempatakan buat tanya beberapa hal sama kamu?”

Aku bertanya dan masih memeluknya. Aku harap seseorang di hadapan ku ini tidak marah karena ku peluk cukup lama.

“Silahkan. But one thing you should know, Jihoon. Who wants to leave you?

Aku meregangkan tangan yang melingkar di tubuhnya. Berusaha melihat wajahnya dalam gelap malam. Sedikit remang-remang dari cahaya lampu taman, aku melihatnya. Aku melihatnya. Dia memang ada disini. Menghampiri ku dan mengkhawatirkan ku.

“Siapa yang mau ninggalin kamu, Lee Jihoon? Coba bilang sama aku. Kamu lucu gini, siapa yang mau ninggalin kamu?”

Dia bertanya. Aku hanya bisa terdiam melihatnya ada di hadapan ku. Aroma coklat dengan perpaduan aroma tanah yang basah terkena air hujan. Membuatnya ingin sekali ku peluk sampai besok pagi.

“Jihoon? Kenapa melamun? I'm here. Maaf aku brengsek ga tepatin janji ketemu sama kamu. Will you forgive me?

Aku mengangguk, tapi aku menangis.

“Eh eh. Ko malah nangis? Kita pulang dulu ya? Kamu udah basah gini. Aduhh seben –”

Aku memeluknya. Aku hanya ingin memeluknya. Dia memberikan jaketnya, dia masih ingat. Dia melepaskan jaketnya, padahal hujan setelahnya langsung turun besar.

Tanpa basa-basi, dia mengendong ku dengan gaya seperti orang habis menikah. Apa mereka bilang? Bridal style? Iya. Aku di gendong seperti itu olehnya.

“Soonyoung?”

“Iya?”

“Kamu mau ninggalin aku, ya?”

Soonyoung.

Seseorang yang ku tunggu, seseorang yang ku banggakan, seseorang yang ku cinta, seseorang yang ku agung-agung kan kini ada di hadapan ku. Aku terus bertanya perihal meninggalkan, karena itu satu hal yang paling aku benci.

“Stop tanya aku bakal ninggalin kamu, Jihoon. Aku harus lawan berapa orang buat yakinin mereka kalau aku sayang kamu. Bahkan aku masih selalu pulang ke kamu lagi kalau aku pusing, aku cape, aku sakit, iya kan? Aku ga bakalan ninggalin kamu Jihoon. Janji.”

Aku tersenyum. Mencium pipinya dan kembali memeluknya.

“Kenapa? Mau sesuatu?”

“Mereka bilang, aku terlalu polos dan rese buat kamu. Bener?”

Soonyoung tersenyum. Lalu tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk.

“Siapa yang berani bilang gitu sama kamu? Coba bilang aku.”

“Mingyu sama Seungcheol. Mereka bilang juga kamu brengsek? Tapi menurut aku kamu cinta aku, Soonyoung.”

“Yang soal brengsek, itu bener. Aku minta maaf. Tapi kalau soal kamu rese atau terlalu polos buat aku, aku ga masalah sama itu. Aku terima kamu apa adanya.”

“Kamu suka sama Dokyeom ya?”

“HAH? Kamu mikirnya gimana?”

Aku hanya tersenyum, memamerkan gigi kecil ku pada Soonyoung.

“Iiii gemes. Aku cium juga lama-lama!”

“Mauuu. Mau di cium Soonyoung!!”

Aku menggodanya. Memanjunkan bibir ku dan mendekat pada Soonyoung.

Seperkian detik kemudian, waktu seperti berhenti. Aku merasakan bibir Soonyoung untuk pertama kalinya. Dia mencium ku dengan rasa, rasa yang tidak bisa aku deskripsikan. Rasa yang tidak ingin aku lepas.

“Kita pulang dulu. Nanti sehabis kita bersih-bersih dan makan, whatever you want to try, whatever they say. Let's do it. With your permission, I will do it.

Once again. Happy late valentine, Sayang. Boleh minta jari manisnya?”

Aku memberikan jari manis ku pada Soonyoung. Dia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari saku celananya.

“Sebagai permintaan maaf dari 2 tahun lalu. Aku janji, dengan adanya cincin ini di jari manis kamu, aku mau kamu jadi punya aku seutuhnya. I love you, Kwon Jihoon.”

“Soonyoung? Ceritanya kamu lamar aku?”

“Bukan cerita cantik. Memang fakta.”

Aku mengangguk dan menerima cincin itu dari Soonyoung. Sangat cantik. Aku suka.

Ternyata selama ini dia menabung untuk ini.

Jadi, sampai saat ini aku masih belum bisa membedakan apa lima perasaan tersebut. Karena orang yang memperlakukan seperti raja hanya Soonyoung.

tamat