characther belongs to Ken Wakui, ooc, m/m, sanmai slight rinzu, drakey.
Sekitarnya sering mengingatkan mengenai perasaan yang tidak akan terbalas dengan cepat, jika yang ditujunya adalah seorang yang terpandang dan memiliki kegiatan yang cukup padat.
Memata-matainya tiada henti, mengingatkannya untuk istirahat melalui perantara, dan memberikan segala atensinya pun melalui perantara langsung maupun tidak langsung. Apapun yang berhubungan dengan si pirang 'nya ia akan terus berusaha untuk melindungi, meskipun nyawa taruhannya.
Kebetulan yang hari ini terjadi, dipastikan akan kembali terjadi. Pertemuan tidak sengaja dan cukup lama seorang Sanzu Haruchiyo dengan si pujaannya, Sano Manjiro.
Senyum manis yang diberikan membuatnya tidak ingin melepaskan pandangannya. Memperhatikannya dengan tatapan yang teduh dan tidak segan untuk mengabadikan seseorang di depannya yang tengah berbicara menggunakan ponsel yang layarnya sudah hampir rusak sempurna.
Sekitar 45 menit Manjiro berbicara di hadapan banyak orang, akhirnya sesi akhir sudah dipersiapkan. Berfoto. Satu sesi yang ingin sekali Sanzu rasakan. Meskipun harus berfoto dengan banyak orang, bagi Sanzu itu adalah moment yang sangat menyenangkan sekaligus membuatnya bahagia sepanjang hari.
Ia pastikan, malam ini akan bahagia sampai pagi kembali datang.
Dua minggu setelah kegiatan yang diadakan di kafe dekat Fakultas Seni, Sanzu kembali bertemu dengan Manjiro.
Sanzu berani bersumpah atas nama Tuhan. Bahwa hari ini dimana ia kembali berjumpa dengan Manjiro, Manjiro terlihat lebih cantik dan wajah cerahnya kembali bersinar.
Seperti hari-harinya pada umumnya, Manjiro di kelilingi oleh orang baik disekitarnya. Ada Mitsuya si anak fashion yang sekaligus kekasih seorang ketua BEM - Haitani Ran, kemudian ada Baji teman semasa kecilnya yang kini sudah tidak terlalu dekat dengannya. Disusul oleh Chifuyu dan Kazutora yang baru saja memasuki kafe secara bersamaan, dan Draken yang tidak pernah absen sama sekali berada di samping Manjiro.
Sanzu pernah berharap, berdoa pada Tuhan agar suatu saat nanti Manjiro akan menjadi kekasihnya meskipun entah kapan doa tersebut akan terwujud. Sanzu memang tidak pernah secara terang-terangan mengutarakan perasaan kagum dan sukanya pada Manjiro. Sanzu tau betul, bagaimana sibuknya Manjiro dan juga orang-orang di sekeliling Manjiro yang akan melindunginya dari apapun.
Sanzu juga tidak akan pernah memaksakan keadaan agar Manjiro menjadi miliknya atau bahkan menjadi kekasihnya sampai salah satu diantara mereka meninggalkan dunia fana ini.
“Sanzu Haruchiyo ya? Boleh gue ikut duduk sini ga?” suara itu. Suara yang penuh dengan kapas lembut, terlalu sopan untuk didengar telinganya yang sering mendengarkan nada suara yang keras dan kasar.
Takut salah dengan perasaannya, Sanzu berbalik memastikan siapa tadi yang izin untuk duduk di samping kursi kosong dekatnya.
“Eh, Manjiro. Sini duduk aja gapapa,” jawabnya kikuk dihadapkan oleh si manis yang sibuk membawa laptop dan buku catatan di tangan kanan dan kirinya.
Manjiro menaruh laptop dan buku catatannya terburu, untung dibantu oleh Sanzu. Jika tidak; kopi, laptop, buku catatan yang ia bawa akan berantakan jatuh ke bawah.
“Udah lama duduk disini? Gue perhatiin dari pojok tadi kayaknya asik banget sama layar laptopnya. Lagi ngapain?“
Sanzu kaget. Apa barusan katanya, perhatiin? Bagaimana bisa ia merasa baik-baik saja sekarang jika barusan saja orang yang disukainya bilang memperhatikannya dari jauh.
“Eh i-iya nih gue lagi ngerjain tugas aja. Lo sendiri tumben ga sama yang lain?” tanya Sanzu basa-basi ingin lebih lama dengan si cantiknya.
“Biasalah lagi pada sibuk masing-masing, Kenchin ga ikut karena di suruh Bang Shin ke bengkel sih jadi ga bisa nememin.”
Deg.
Perasaan sakit hati yang mendadak muncul saat pria kecil dihadapannya ini mengucapkan satu kata yang sebenarnya tidak terlalu ia suka, Kenchin. Nama panggilan yang sering sekali Manjiro ucapkan jika bersama dengan Draken atau memanggil namanya.
Sanzu tau bahwa ia sangat sulit untuk mendapatkan atensi bahkan afeksi dari seorang Sano Manjiro. Sanzu merasa tidak pantas untuk mendapatkan kedua hal itu dari siapapun, apalagi dari seseorang dihadapannya ini. Mimpi.
Tiba-tiba Manjiro menyodorkan ponselnya dihadapannya, “Mau tukeran nomor ga? Sejak SD dulu kita udah lost contact gitu aja deh. Gue juga jadi ga tau kabar lo, Senju, sama Bang Omi. Mereka berdua sehat-sehat 'kan?“
Ah, iya. Lupa memberi tau. Sanzu, Baji, dan Senju adiknya, dulu adalah teman dan mereka sama-sama berlatih judo di tempat kakeknya Manjiro. Namun, karena sebuah insiden buruk yang dituduhkan padanya, mereka tidak kembali bercengkrama bahkan kembali bermain bersama.
Sanzu pergi secara mendadak dan meninggalkan kota dimana seharusnya ia tinggal. Hanya meninggalkan perasaan bersalah bagi siapa saja yang tidak memperhatikannya, menyakitinya, dan menuduh dirinya atas kejadian 13 tahun lalu.
Hari dimana Sanzu mendapatkan lukanya, hari dimana Sanzu mendapatkan rasa tidak layak dicintai, dan hari dimana Sanzu tidak ingin kembali menjadi seorang Akashi Haruchiyo di hadapan banyak orang. Ia ingin merubah semuanya, semua yang ada pada dirinya, dirinya, identitasnya, dan hal lain yang menurutnya hanya membuat lukanya kembali teringat.
Namun siapa sangka, saat hari dimana ia menjadi seorang mahasiswa baru, semuanya kembali terulang, teringat, tersebar pada pikirannya dan hatinya yang sudah lama mati.
Baji. Orang pertama yang ia temui saat kegiatan orientasi seluruh fakultas. Saat Sanzu bertemu Baji secara tidak sengaja, pada saat itu juga terjadi kontak mata dengan si surai panjang hitam pekat. Ada Chifuyu dan Kazutora juga disana. Sanzu gelisah pada saat itu, berharap Baji sudah tidak mengenalinya.
Tapi dugaannya salah. Baji malah menghampirinya dan bertanya, “Belum puas bikin masalah? Belum puas gue hajar? Kalau belum puas dateng ke gedung mangkrak sebelah fakultas teknik. Temuin gue disana.”
Sanzu menelan saliva dalam kerongkongannya, namun tetap terasa kering. Ia takut benar akan dihajar oleh Baji. Karena saat itu Baji benar-benar ada di pihak Manjiro dan juga kakak mereka.
Dengan berani dan membuka masker yang selama ini menemaninya, “Engga, Ji. Gue ga bakalan ganggu diantara kalian semua. Semoga bahagia terus ya Ji sama anak-anak Toman.”
Sanzu dan Baji sudahkan percakapan itu dengan Baji yang acuh dengan jawaban akhir yang diberikan Sanzu. Mungkin Baji memang benar-benar sudah tidak peduli dengannya.
“Halo? Sanzu? Ko ngelamun?” Manjiro mengerakkan tangannya dihadapan wajah Sanzu, membuat si surai merah muda itu tersadar dari lamunannya.
Sanzu tersenyum dan menyetujui yang Manjiro pinta untuk bertukar nomor telfon. Kopi yang dipesannya sudah mulai terasa hambar, berarti sudah waktunya pulang dan mengerjakan sisa tugasnya di rumah.
“Manjiro, gue pulang duluan ya. Nanti kalau sempet kita ketemu lagi,” Sanzu selesai membereskan barang-barangnya dan segera bangkit dari tempat duduknya.
Manjiro yang melihat Sanzu seperti terburu sedikit bingung. Sedari tadi Manjiro perhatikan saat ia masih bersama teman-temannya, Sanzu hanya diam dan laptop di depannya pun hanya dipasang dengan kabel earphone tanpa membuka software ms word atau pun yang lainnya. Ia benar-benar hanya mendengarkan lagu.
“Serius udah selesai atau menghindari dari gue, Zu? Ini udah kesekian kalinya gue perhatiin lo ngehindar dari gue. Gue ada salah sama lo? Kalau ada bilang aja Zu jangan kaya gini,” Manjiro benar-benar menahan tangan Sanzu yang sudah hampir bangkit dari tempat duduknya.
Sanzu tersenyum dan melepas tangan Manjiro pelan, “Gue ga pernah merasa ada masalah sama lo kok, Jiro. Gue beneran udah selesai nugas dan harus pulang.”
Manjiro yang tidak percaya tetap memaksa Sanzu untuk tetap menjelaskan apa yang mengangguk pikirannya dan apa yang menjadikannya seperti menghindari darinya.
“Bilang aja. Gue ga bakalan gimana-gimana sama lo,” ucap Manjiro memaksa Sanzu untuk bercerita.
Sanzu menggeleng cepat. Ia benar-benar tidak ingin kembali mengingat kejadian lampau yang dialami olehnya dan juga teman-temannya dulu.
“Sorry ya Jiro. Gue pulang dulu, ketemu lagi lain waktu.”
Sanzu berhasil menghindar dan keluar dari dalam kafe, “Setidaknya gue udah ketemu empat mata sama lo, Jiro.”
Semester-semester terberat dalam perkuliahan akhirnya terselesaikan dengan cepat dan aman. Sanzu kini sudah selesai dengan kegiatan magang dan juga beberapa hal persiapan untuk skripsi beberapa semester kedepan. Dan sekarang, dihadapannya sudah ada si cantik pirang yang menemaninya.
“Hari ini kamu mau aku temenin kemana, Jiro?” tanyanya sambil terfokus pada seatbelt kepada seorang dihadapannya.
“Aku pengen ke bioskop nonton series Marvel, boleh? Soalnya kata Kenchin itu asik banget jadi aku pengen coba nonton,” jawabnya bersemangat. Sanzu yang mengajak tidak terlalu senang. Senyumnya memudar sebelum memasang senyum palsu pada kekasih dihadapannya ini.
Ah, Kenchin. Masih saja Manjiro memanggil Draken dengan sebutan itu.
“Manjiro. Kamu ga ada panggilan sayang buat aku ya?” Sanzu sudah muak, akhirnya ia bertanya secara gamblang pada seorang dihadapannya.
“Eh? Ada dong. Tapi tumben kamu nyinggung pertanyaan ini?“
Sanzu menyalakan mesin mobilnya dan mengarahkannya keluar dari dalam kampus menuju mall untuk menonton bersama Manjiro, kekasihnya.
Ya, setelah beberapa bulan lamanya akhirnya Sanzu berhasil mendapatkan atensi dan afeksi dan seorang Sano Manjiro. Meskipun ia harus tetap mengalah dan selalu terkalahkan oleh seorang yang selalu dekat dengan Manjiro, yaitu Draken. Ryuguji Ken.
Kisah sederhana mereka sudah berjalan sekitar 5 bulan lamanya. Masih terlalu awal memang, tapi bagi Sanzu mendapatkan Manjiro dan bertahan selama 5 bulan adalah langkah awalnya melupakan hal-hal buruk dalam pikiran dan juga hatinya.
“Haru, tapi aku udah janjian juga sama yang lain buat nonton Marvel. Kamu gapapa 'kan nonton bareng mereka juga?” Manjiro dengan polosnya mengatakan hal itu padanya. Sudah jelas hari ini adalah hari tepat 5 bulan mereka berpacaran, tapi selalu saja ada teman-teman Manjiro yang mengganggu kegiatan berdua mereka-lebih tepatnya Manjiro yang selalu mengundang.
Dengan terpaksa dan juga senyum palsunya Sanzu menjawab, “Iya gapapa. Nanti kita nonton bareng mereka juga,” sebenarnya jika boleh Sanzu ingin sekali mengutuk satu-satu teman Manjiro untuk berhalangan hadir hari ini dan tidak mengganggu agenda mereka berdua.
Hubungan yang semakin merenggang, hubungan yang sebenarnya sudah tidak bisa diselamatkan karena pihak yang selama ini ia kejar sudah termakan oleh omongan seseorang yang bahkan tidak tau kebenarannya sama sekali.
Dalam mobil yang hening dan hanya diisi oleh rintikan hujan deras, Sanzu dan Manjiro masih terdiam tidak ada yang mau membuka suara. Padahal ini sudah hampir 2 jam mereka berdiam dalam mobil.
“Aku yang bakalan ngomong duluan,” tegas Manjiro memecah keheningan dan juga ia merasa muak sudah bertemu tapi si peminta tidak berbicara sepatah kata pun.
“Dua tahun kita kaya gini tapi kamu ga pernah ngertiin posisi aku sama temen-temen aku. Bahkan hal-hal kecil yang aku lakuin bareng temen-temen aku, kamu ga pernah sama sekali terlihat seneng atau bahkan excited. Aku ga nyalahi kamu Chiyo, tapi aku ngerasa apa yang kamu lakuin tuh ga sesuai sama apa yang kamu janjiin dulu-dulu,” Manjiro berhenti sejenak. Mengambil nafas dan melihat reaksi seorang dihadapannya ini.
“Chiyo, kalau aku boleh jujur. Kalau ternyata selama ini aku ga pernah ada rasa cinta ke kamu gimana?” tutur kata Manjiro bagian ini membuat Sanzu bereaksi, membelalakan kedua matanya dan ingin marah pada detik itu juga.
Tapi Sanzu tidak memperlihatkan perasaan marahnya pada Manjiro. Ia hanya tersenyum dan membawa tangan Manjiro pada pipi kanannya.
Selama tiga menit Manjiro menghitung Sanzu masih belum juga ingin berkomentar. Tiba-tiba ponsel Manjiro berdering, ada telfon masuk dan ingin segera di jawab.
Sanzu membuka matanya. Melihat Manjiro mengangkat telfon tersebut dan menjawab deretan pertanyaan yang diberikan oleh si penelfon.
“Udah selesai?” tanya Sanzu basa-basi. “Oke, kali ini aku bereaksi atas pertanyaan dan pernyataan kamu.”
Sanzu membenarkan posisi duduknya, membuat dirinya berhadapan dengan si surai pirang dihadapannya.
“Aku tau. Aku selalu kalah dari Draken. Yang barusan telfon kamu Draken 'kan? Maaf kalau aku malah bikin kamu jauh dari temen-temen kamu, bikin kamu terganggu dari kegiatan kamu, atau mungkin bikin kamu risih? Aku minta maaf. Aku ga pernah merasa nyesel untuk punya hubungan lebih dari sekedar teman sama kamu kaya gini, Manjiro. Aku seneng banget. Setidaknya mimpi aku ada yang terwujud 'kan?” Sanzu melepas genggaman tangannya dari tangan Manjiro.
“Kamu setelah ini ada janjian sama Draken?” tanya Sanzu memastikan apa yang ada dalam pikirannya tadi selama Manjiro mengangkat telfon.
Manjiro mengangguk, “Dia jemput aku kesini. Tentang hubngan kita sekarang. Aku mau kita selesai, Sanzu.”
Sanzu mengambil nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Seperti seorang yang menahan rasa ingin menangis dan sakit hati yang luar biasa.
“Iya. Kamu capek ya? Aku minta maaf ya. Aku — ”
Secara bersamaan tiba-tiba terang lampu mobil menyinari kaca mobil Sanzu. Mobil hitam bmw itu sudah ia ketahui milik si pria tato naga di pelipis bagian kepala kanannya.
“ — aku minta maaf sekali lagi,” sambung Sanzu dan membiarkan Manjiro keluar dijemput oleh Draken.
“Lain kali ga usah aneh-aneh sama Manjiro. Kalau dia ga suka jangan dipaksa!” sindir Draken dan membawa Manjiro ke dalam mobilnya dan meninggalkan Sanzu disana sendirian dengan mobil penuh aroma coklat milik Manjiro.
“Sanzu Haruchiyo? Ini Rindou. Lo kapan mau bangun? Gue nungguin lo. Udah ya istirahatnya, sekarang ada gue yang bakalan nanggung bareng rasa sakit lo waktu dulu-dulu.”
:tbc.