al.

Selesai Bima dengan meeting dadakanya, dia langsung menelfon Mahendra. Sebenarnya kasus ini ia akui tidak akan sebesar dan serumit ini jika pihak sekolah berkenan langsung di periksa oleh polisi dan lembaga pendidikan negara.

Hanya saja, kepala sekolah serta donatur tetap SMAN JULAS dengan beberapa guru honorer yang di curigai membantu memperjual belikan soal serta jawaban ujian, kabur tanpa memberi tau kemana dan alasan apa yang membuat mereka pergi meninggalkan sekolah selama terblow upnya kasus ini di media-media kecil.

Sambungan pertemuan online sudah terhubung dengan Mahendra serta ada sesosok laki-laki dengan mimik wajah yang kurang ramah, sepertinya itu Haiqel, pikir Bima.

“Halo, Bang. Ini yang satu lagi itu Haiqel-Haiqel itu ya Bang. Dia best friend gue. Iya ga, Qel?” sambut Mahendra, bercanda.

“Biasa aja? Alay ah. Gue ga mau ikut-ikutan gini kan, Hen. Ini udah kali keberapa coba dan orang keberapa yang lo suruh gue jadi saksi mata atas tuduhan ini ke lo,” jawab si pria sipit itu dengan nada malas.

“Ya elah, Qel. Kan kata ibu gue lo harus backing gue, kan bokap lo intel Qel. Gue harus berlindung sama siapa lagi? Bokap ga punya, ibu cuman sendirian. Udah sakit-sakitan pula,” saut Mahendra membalas ucapan-ucapan temannya itu.

“Iyaaaa. Jangan bawa-bawa ibu. Gue sayang sama ibu, kalau sama lo ya gue juga sayang gara-gara ibu. Awas aja lo!”

Bima masih mematikan kamera dan hanya mendengarkan celotehan kedua orang yang akan memberikan beberapa fakta mengenai kasus ini.

“Halo. Selamat malam.”

Bima membuka kamera onlinenya dan menyapa Mahendra serta Haiqel, teman Mahendra.

“Malam, Bang.”

“Langsung aja ya? Kayaknya kalian juga lagi sibuk mau ngulang ujian besok.”

“Ko tau, Bang? Abang intel juga, ya?” tanya Haiqel dengan nada menggoda– bercanda.

“Engga, saya cuman kerja di bawah menteri pendidikan aja. Jadi ya mau ga mau saya harus tau soal kasus-kasus gini. Kebetulan juga Mahendra pacarnya adik saya, jadi ya saya langsung tanya aja.”

“Wiiih lo pacaran sama orang yang abangnya kerja di bawah pemerintah? Pantesan ga pernah tenang lo akhir-akhir ini.”

“Biasa aja? Gue bahkan ga tau kalau abangnya Tiara kerja di bawah menpen,” jawab Mahendra.

“Jadi gini, kan yang sedari kalian tau kalau sekolah kalian jadi salah satu sekolah dari lima sekolah yang kasus kecurangannya ketahuan sama pihak yang berwenang. Nah, sedari yang saya punya dan pegang siapa saja orang-orang yang terkena tuduhan atau memang menggunakan jasa itu, kebetulan ada Mahendra di dalemnya. Kata temen saya, itu nama pacar adik saya. Jadi saya disini mau tanya sama Mahendra perihal yang terjadi sebenarnya.”

Selama kurang lebih 1 jam 30 menit lamanya, Mahendra di tanya dan Haiqel pun sama dengan Mahendra terus di tanyai oleh siapa, apa, dan kenapa mengenai tujuan adanya joki atau seseorang di sekolah mereka yang memperjual belikan soal ujian serta kunci jawabannya.

“Intinya sih, Bang. Kepala sekolah sama ada satu apa dua guru baru tuh emang agak sus waktu mau ujian itu. Tiba-tiba guru honorer yang suka koar-koar karena gajinya kecil, tiba-tiba diem aja selama kurang lebih 2 mingguan sebelum ujian itu. Terus kepala sekolah jadi sering banget main ke kelas-kelas,” tambah Mahendra sebelum selesainya panggilan online tersebut.

“Baik, terima kasih atas fakta barunya. Selamat kembali berujian. Mahendra, saya titip Tiara. Kamu tau double A, kan? Kalau tidak salah ayah mereka berdua itu donatur tetap di sekolah?” tanya Bima.

“Alvina sama Alvin itu ya? Tau. Siapa sih bang yang ga tau mereka? Orang-orang yang sering di banggain sama sekolah, padahal baru masuk satu semester tapi pialanya dimana-mana,” celetuk Haiqel.

“Haiqel tuh bang. Mantannya Alvina,” tambah Mahendra.

“Bacot lo Hendra!”

“Ohh gitu. Ya sudah tidak apa-apa. Terima kasih sebelumnya sudah mau saya repotkan. Selamat malam.”

“Malam.”

Sambungan percakapan sudah di matikan. Bima segera membereskan meja kerjanya dan segera untuk pulang ke rumah.

pov Ana.


Sedikit cerita gimana gue bisa ketemu Ras dan berakhir dengan backstreet selama 3 tahun pacaran sama dia.

Dulu gue sempet punya pacar namanya Dimas Maharashtra. Gue dan Dimas sudah berpacaran selama kurang lebih 5 tahun, sejak 2013 waktu gue sama dia masih duduk di sekolah menengah pertama.

Waktu SMP sebenarnya masa-masa yang paling seru menurut gue. Kenapa? Dulu, bunda sama papa masih baik-baik aja, mereka masih sering ajak kita jalan-jalan. Bahkan kakak gue, Azalea sering di kasih hadiah cuma-cuma sama bunda dan papa gue.

Tapi sayangnya, semenjak mereka pisah di tahun 2016, baik gue, bunda dan kakak ga bisa lagi hidup enak. Bunda tiba-tiba kena penyakit yang mengharuskan beliau buat cuci darah setiap sebulan sekali.

Puji Tuhan, kakak gue langsung dapet kerja, meskipun harus bener-bener merintis dari bawah karena masalah pendidikan terakhir yang waktu itu baru aja lulus SMA.

Gue, sebagai Adel yang sedang beranjak dewasa pada tahun 2016 itu cuman bisa jagain bunda. Setiap pulang sekolah sebisa mungkin gue langsung pulang. Karena kakak gue punya sifat tegas yang luar biasa. Apalagi ini soal bunda, orang tua kita satu-satunya.

Gue inget dengan jelas. 10 bulan sejak papa sama bunda cerai, papa masih sering ngajak gue sama kakak main, meskipun gue dan kakak gue suka nolak tapi bunda suka maksa kita buat ikut dia main.

Lulus dari SMP dan akhirnya kakak gue punya cukup banyak uang buat membeli sebuah apartment, kita bertiga pindah ke sana. Disana, tempatnya cukup dekat dengan bunda biasa cuci darah.

Sayangnya, tempat kerja kakak sama apartment yang dia beli ga sesuai sama apa yang harus dia tempuh. Butuh dua jam lebih buat kakak gue sampe ke tempat kerjanya. Begitu pun gue yang harus lari-lari kejar kereta karena jarak sekolah gue cukup jauh juga dari apartment.


Jam 12 malam, kakak gue baru pulang. Keadaan dia ga bisa gue bilang baik-baik aja. Baju dia kotor, rambut dia berantakan, dan juga dia pulang dengan keadaan nangis.

“Bundaaaaaa..” panggil kakak gue dengan lirih, dia langsung nangis lari ke kamar bunda.

Gue yang denger suara itu pun bangun dan lari ke kamar bunda nyusul kakak gue.

Gue liat kakak gue kesakitan, dia nunjukkin kalau dia habis di rampok. Uang dia di ambil, handphone dia di ambil juga. Bahkan karena ngelawan, kakak gue sampai di tendang-tendang dan hampir pingsan.

“Sialan!” gumaman serapah gue setelah denger cerita yang kakak gue sampaikan ke bunda.

“Jakarta terlalu keras ya, untuk kita bertiga. Gimana kalau kita pindah ke Bandung aja? Bunda ada saudara disana, dia sempat bilang mau kontrakin rumahnya. Gimana, kalian mau?” tanya bunda.

Sebenarnya cukup berat buat gue dan kakak untuk pindah ke kota lain. Pasalnya gue dan kakak lahir dan besar di Jakarta. Tapi, dengan adanya kejadian ini gue dan kakak nurut sama bunda. Karena kita mikir ga mau sampai ada masalah lain yang nimpa kita bertiga lagi.

Setengah tahun kita pindah ke Bandung, Puji Tuhan ga ada kendala apa-apa. Mungkin semesta tengah berbaik hati sama kita bertiga. Kondisi keuangan kita aman, gue selalu dapet peringkat pararel di sekolah dan juga kakak gue yang perlahan naik pangkat dan gaji, jadi dia bisa lanjut kuliah.

Lulus dari SMA, gue langsung coba cari loker-loker, gue juga masih sering komunikasi sama anak-anak organisasi yang sering gue ikuti; internal dan ekternal.

Mulai dari sini ternyata kehidupan Bandung gue di uji. Kondisi bunda perlahan memburuk, keadaan keuangan kita bertiga makin buruk juga, gue yang masih belum dapet kerja, kakak gue yang tiba-tiba di pecat tanpa alasan yang jelas dan pesangon.

Dan tepat di tanggal 13 Februari 2019, bunda meninggal. Kita di tinggal sama bunda selama-lamanya.

Gue, kakak, papa ada pemakaman. Gue jadi orang terakhir yang meninggalkan pemakaman tersebut.

Gue nyesel. Gue nyalain diri gue kala itu. Kalian tau kan, rasanya di tinggal sama orang yang kita sayang itu gimana?

Apalagi ini ibu sendiri, bunda.

“Hi. You're not going to leave this place? Sudah mau turun hujan.”

Gue denger ada suara laki-laki dari samping kiri gue.

“Seandainya gue bisa pilih. Gue pengen gue aja yang mati. Bunda jangan. Dia masih bisa sembuh kan?”

Gue mengajak orang itu berdialog. Entahlah, gue ga bisa mikir jernih kala itu.

Everyone will die. Everyone has their own time to die. Kamu kalau mati sekarang pun percuma kalau Tuhan belum mau kamu selesai sama hidup kamu.”

Gue diam. Terasa hujan mulai turun dengan perlahan. Tapi aneh, kenapa gue ga basah?

“Lo bisa pake payung ini. Gue cabut dulu, seandainya mau balikin payung ini. You can come to a panti jompo di daerah Burangrang, Lengkong. Gue pamit. Jaga diri baik-baik.”

Setelah dia bilang gitu. Hujan mendadak turun dengan deras. Makam bunda yang masih belum kering, tertimpa air hujan yang deras.

“Bunda, besok aku ke sini lagi. Payung ini, maaf ya aku ga bisa kasih bunda. Tapi aku yakin malaikat disana pasti payungin bunda. Sayang bunda.”

Gue pergi meninggalkan makam bunda dengan berat. Gue masih kangen bunda. Tapi emang bunda bisa balik lagi?


Besoknya, gue langsung pergi ke tempat yang dimaksud si pemilik payung kemarin. Jarak tempat dari kontrakan cukup jauh, bahkan itu termasuk daerah macet yang luar biasa.

Gue hanya bermodalkan google maps, gue meminta teman se-SMA gue yang tinggal di Bandung.

“Lo balikin payung padahal bisa di paketin. Repot-repot sampai harus nyusulin ke rumah dia?”

“Ga kerumah diaaa. Panti jompo. Gue rasa ini punya neneknya? I don't know

Selama diperjalanan, gue mencoba untuk mencari panti jompo yang mana yang si pria itu maksud. Masalahnya, di Bandung ga cuman satu tempat panti seperti itu. Apa gue harus mencari ekstra hanya agar bisa mengembalikan payung ini?

Gue dan Andra sampai di rumah yang cukup besar, tidak ada palang panti jompo atau yang sejenisnya. Kami hanya mampir untuk beristirahat dan membeli makan yang di jajakan oleh pedagang kaki lima di dekat rumah tersebut.

“Mau balikin payung ya?” tanya seseorang tiba-tiba dari arah belakang gue.

“Eh iya mas? Eh ini masnya ya? Atau siapa?”

“Lo yang kemarin di makam sebelum hujan? Pakai jaket hitam dengan logo band arctic monkeys di belakangnya?” jelas si pria itu.

“Iya mas. Berarti bener ini masnya. Ini mas saya mau kembaliin payungnya terima kasih.”

“Sama-sama.”

Ucapnya sambil menerima payung dari yang gue bawa. Sejujurnya, gue rasa dia seumuran sama gue dan kayaknya dia juga kemarin habis kehilangan seseorang yang dia sayang dan kebetulan di makamin disana.

Gue sedikit ngobrol-ngobrol sama dia, tukeran nomor juga buat kali aja ada kerjaan yang bisa gue apply.

“Kalau gitu, gue pamit dulu ya. Hati-hati kalian berdua.”

Dia pamit, “Nama lo siapa?!!”

Gue teriak dan dia jawab, “RASYA!”

“Oke. Thanks ya Rasya!”

Gue dan Andra pulang sebelum hujan besar. Tapi tetep aja kita berdua kehujanan di jalan pulang.


“Halo Adel?”

“Halo, Ras. Kenapa?”

“Gue kebetulan ada info kerja nih. Mau ga lo ambil?”

“Wih boleh. Apaan tuh?”

“Tempatnya agak jauh sih di Jakarta. Gimana lo mau?”

“Aduhh, kalau Jakarta kayaknya belum bisa deh. Soalnya gue habis coba mandiri di univ Bandung.”

“Dimana?”

“U-thirteen. Lo tau?”

“Oh dulu gue sempet daftar kesana. Cuman ga jadi.”

“By the way, kalau ketemuan lo sibuk ga hari ini?”

“Engga.”

“Ketemuan yuk? Gue jemput. Lo tinggal dimana?”

“Ketemuan di Balai Kota aja, gimana?”

“Oke. Jam 4 sore, bisa?”

“Sip.”

“Oke. Thanks Adel.”

“Sama-sama, Ras.”


14 Februari, tepat sehari sesudah kepergian bunda. Gue dan Ras akhirnya memutuskan untuk ke makam, gue ga maksa tapi Ras yang ajak.

Berakhirlah gue dan Ras yang meneduh di mobil milik Ras. Karena mustahil jika harus pulang dengan keadaan kabut yang turun. Bisa-bisa kami mati kecelakaan.

“Lo, udah ada pacar? Ko gue ga liat sedari kemarin lo di makam?”

Ini topik privacy yang ga bisa sembarang orang tau dengan cuma-cuma.

“Ga ada. Kita udah putus dari satu SMA karena gue pindah ke Bandung.”

Tapi anehnya, gue memberi tau hal itu pada Ras yang notabenya orang asing, orang baru. Gue menceritakan banyak hal pada Ras.

“Del. Kalau gue mau pendekatan sama lo, gapapa?”

“Hah? Pendekatan apa? Temenan gitu?”

“Bukan. Ke arah yang series, I mean semacam pacaran?”

“Oh, memang lo bakalan kuat sama gue? Banyak orang yang cuman penasaran sama gue doang selama ini.”

“Gue percaya lo. Lebih dari siapapun.”

“Wow bahasanya hahaha.”

Gue tertawa terbahak-bahak selama percakapan tersebut. Ras yang tiba-tiba meminta izin untuk pdkt dan segala hal-hal random yang dia ceritakan.

“Gue pernah ada pacar. But she's die. Tepat hari kemarin berbarengan sama nenek gue.”

Oh. Ternyata nenek dan kekasihnya meninggal pada hari itu.

“Jangan cari yang ada di pacar lo ke gue. Gue orang biasa, Ras.”

“Justru itu. Gue tau, kematian mantan pacar gue yang kemarin karena salah dia. Gue udah sering larang dia buat ngelakuin hal tersebut. Tapi ya, bentukannya kaya batu ya, keras. Mau di apa-apain juga susah pemikirannya.”

“Maaf kalau boleh tau, karena apa?”

“Overdosis karena gue tinggal ke Australia buat kuliah.”

Gue hanya bisa melongo mendengar penjelasan Ras barusan, “Namanya hidup. She thinks you're her soul mate. So she doesn't want you to go far.

Ras menggeleng, “Kita udah putus dari 2 bulan lalunya sebelum gue cabut ke Aussie. Cuman ya, gatau gue.”

“Kenapa kita ga pacaran sekarang aja? I mean gue butuh teman buat cerita dan berkeluh kesah atas hari-hari gue.”

“Wow Ana.”

Ras tertawa mendengar ajakan gue barusan. Dan satu lagi, dia panggil gue Ana.

“Nama gue Ardelia Natasya Anggun, Ras. Ga ada Ana-Ana nya.”

“Kalau di singkat jadi Ana. Lucu.”

Gue berpikir. Kenapa Ras ini sangat lucu dan random sekali pemikirannya. Tapi disatu sisi gue bener-bener dengan ide dia bawa gue ke makam dan kita terjebak hujan kabut disana.

“Del. Gue bakalan lama di Aussie. Kita LDR. Lo bisa LDR kan? Kalau engga, ya harus bisa sih. Gue pengen pacarannya sama lo.”

“Gue, jago.”

“Pacaran nih kita?”

“Pacaran.”

Diakhiri dengan tawa lepas dari kami masing-masing. Terlalu gila, tapi faktanya memang begini di lapangan.

Ya kira-kira begitu gue bisa jadian sama Ras.

Eren dan Armin sudah berteman sejak lama, bahkan kedua orang tua mereka memiliki hubungan pertemanan yang sangat erat. Ibunda Armin adalah adik tingkat dari Ayah dan Ibunda Eren saat kuliah dulu dan Ayah Armin sendiri adalah teman seperjuangan Ayah Eren. Maka tidak usah dipertanyakan kembali seberapa dekat keluarga Grisha dengan Arlert, mereka sudah seperti saudara kandung.

Selesai menggunakan ponsel ibundanya untuk membalas pesan Eren, Armin segera mengganti bajunya dan juga membawa beberapa buku untuk dibahas dan dibaca bersama Eren nanti. Armin sudah dikenalkan dengan Eren sejak umur mereka menginjak 2 tahun, orang tua Armin dulu sempat mengalami kebangkrutan sehingga beberapa aset besar seperti rumah diambil oleh pihak bank dan meminta bantuan kepada keluarga Grisha untuk sekedar memberikan mereka satu ruang kecil untuk keluarga kecilnya tidur. Apalagi pada saat itu Armin masih memiliki imun yang lemah karena beberapa faktor saat kehamilan dulu.

“MAMAAA!” teriakan Armin tidak terlalu besar, namun ibundanya sangat sensitif terhadap suara Armin karena takut hal-hal seperti masa lalunya kembali terulang.

“Iya anak Mama, sudah siap?” tanya Mama Arlert dengan membawa beberapa camilan untuk dimasukan ke dalam tas yang akan dibawa anak semata wayangnya ini.

“Suda! Aku ga sabal ketemu Elen. Tadi katana Elen punya temen, tapi nangis.”

“Nangis kenapa? Eren nakal sama temen barunya?”

“Engga butan, katana anak na nangis pipis di celana. Malu,” ucap Armin disusul dengan ekspresi jiji.

“Ade ga boleh gitu wajahnya ah. Mama ga ajarin ade gitu loh.”

“Tapi kant atneh. Kalo mau pipis ya pelgi kamal mandi.”

“Iya Mama tau. Tapi kan mungkin temennya Eren ga tau kamar mandinya dimana, kan?”

Armin memberikan anggukan sebagai jawaban, “Mama aku nanti pulangnya pengen di jemput Papa ya?”

“Iya. Nanti Mama chat ya Papanya.”

Satu jempol diberikan kepada ibundanya dengan senyum memperlihatkan gigi kecilnya yang sangat rapi dan bersih.


“ELENNNNNN! AKU UTDAH DICINIIII!!! KAMU DIMANA???” teriakan Armin membuat Zeke, kakak Eren kaget.

“ARMIN! ATU DIKAMALLL CINI AJAH. TAPI AWAS ADA ABANG!” balas Eren dengan teriakan yang tidak kalah kencang dari Armin. Membuat Zeke yang tengah mengerjakan tugas di ruang tengah menutup telinga dan memberikan ekspresi siap untuk menerkam Armin.

Armin yang melihat Zeke segera lari sekencang yang ia bisa. Karena kakinya yang kecil, membuat Zeke kewalahan dan tidak kembali mengejar Armin, membiarkan teman adiknya itu pergi sendiri menuju kamar Eren.

“Elen aku bawa mam banyak. Kamu mau yang mana?” Armin segera membuka tas kecilnya dan mengeluarkan seluruh isi tasnya dengan menggoyang-goyangkan tasnya dari ketinggian.

“Aku mau ini boleh?” Eren menggambil ciki berwarna hijau.

Armin melihat bahwa itu adalah ciki favoritnya dan Eren menginginkan itu. “Tapi itu aku suka. Kamu yang lain ajah.”

“Tadi kata kamu aku suluh ambil sendili gapapa. Gimana sih?!”

“Ya tapi jangan ituu, katn kamu tau itu aku sukanya.”

“Ya udah ga jadi buat kamu aja.”

“Makasih Elen. Kamu ini aja ya, ini juga enak kok jeli nya nanti kamu bisa jadi kuat kalau mam itu.”

Mendengar kata kuat membuat mata Eren berbinar. Dia ingin sekali menjadi kuat seperti kakaknya dan juga ayahnya. “Boleh buat aku yang ini?”

Armin mengangguk dan memberikan seluruh jeli yang ia bawa untuk dimakan oleh Eren.

“Enak! Kamu juga halus tau mam jeli ini bial kuat,” Eren memberikan jeli yang sudah dibuka bungkusnya untuk Armin.

“Enak Elen. Makasih ya.”

“Iya.

“Kamu mau ga kita mainnya di depan lumah aku? Bocen di dalem kamal telus. Yuk?”

Armin mengangguk.

Sesampainya di halaman depan rumah keluarga Grisha, Eren tidak sengaja berpapasan dengan anak perempuan yang tadi ia ceritakan pada Armin.

Segera berlari untuk menghalangi jalan anak perempuan itu, Eren memberikan ekspresi bingung dan seperti ingin berkenalan.

“Kamu yang tadi pipis ya di sekolah?” tanya Eren.

Anak perempuan itu hanya tertunduk tidak ingin menjawab pertanyaan Eren.

“Ih kenapa diem aja? Aku tanya kamu tadi pipis di sekolah kan? Telus dibantuin Mama aku?” tanya Eren lagi.

Anak perempuan ini masih mengingkat jelas wajah Eren yang menertawakan dirinya karena tidak kuasa untuk menahan rasa ingin pipis saat di sekolah tadi.

“Tuh kan benel. Almin ini temen aku yang tadi aku bilang kamu,” ucap Eren excited.

“Nama kamu ciapa?” tanya Armin pelan.

“A-aku. Na-nama a-aku –“

“Ih lama. Kamu udah bisa ngomong kan?” potong Eren tidak suka.

“Elen tunggu dulu dia mau jawab.”

“Na-nama a-aku Mi-mi-mika-ka-sa.”

“Hah?!”

“Mi-mikasa.”

“Oh Mikaca. Calam kenal ya, aku Almin ini Elen temen aku.”

Mikasa mengangguk.

“Kamu mau kemana sole-sole sendilian? Nanti diculik titan loh, mau?”

Eren membuat Mikasa sedikit memundurkan posisinya menjauh dari Eren dan Armin.

“ELEN! GA BOLEH GITU. ITU MIKACA NYA TAKUT.”

Eren mengejeknya dengan memberikan senyum full dengan memperlihatkan sedetan giginya.

“Kamu sini dulu aja masuk lumah Elen, nanti biar Mama Elen yang telfon Mama kamu.”

“Mama aku tau Mama dia?”

“Ya tau Elen! Kan tante Grilta tau semuanya. Ga kaya kamu. Wleee.”

cw // alkohol

Beberapa botol minuman alkohol berkadar sedang, menemani dinginnya malam Seishu yang tengah memikirkan sebenarnya ada apa dengan dirinya dan juga mengapa dia harus merasa kesal saat kekasihnya, Kokonoi memanggil dirinya dengan sebutan Kak. Padahal memang fakta sudah jelas bahwa Seishu jauh lebih tua terpaut 2 tahun dari kekasihnya sendiri. Mengirimkan pesan singkat bahwa dirinya tidak jadi untuk pindah tempat tinggal untuk saat ini dan membiarkan kekasihnya agar tidak mencari dan mengajaknya pulang, karena meminta izin untuk menginap di kediaman rumah sahabatnya, Mitsuya.

Kebetulan Mitsuya adalah mantan kekasih dari sahabat kekasihnya, Ran. Seishu dan Mitsuya pun sudah berteman lama, semasa SMA mereka saling berteman baik bahkan bisa dibilang mereka bersahabat. Namun, setelah meninggalnya salah satu teman mereka – Draken, mereka memutuskan untuk sibuk dan fokus dengan kehidupan maisng-masing, tapi jika ada masalah dan merasa butuh teman cerita atau membutuhkan hal lainnya bisa saling menghubungi. Mitsuya kini hanya sibuk dengan butik dan kedua adikknya, sedangkan Seishu sendiri masih sibuk dengan bagaimana dirinya agar tidak menyusahkan kekasihnya terus-menerus.

Beberapa kali ponsel Seishu berdering, mungkin Koko benar-benar mencarinya dan akan memaksa dirinya untuk pulang dan membicarakan ini dengan baik-baik. Seishu segera membalas beberapa notifikasi masuk dari Koko dan membalasnya sampai Koko menyampaikan bahwa dirinya ada di belakang dirinya dan meminta dirinya untuk pulang bersamanya. Namun dirinya menolak dan meminta Koko untuk menemaninya mengobrol untuk malam ini ditemani dengan beberapa bungkus rokok dan beberapa lagi botol alkohol.

“Sei?” tanya Koko saat benar-benar sudah dibelakang Seishu.

Yang dipanggil hanya tersenyum dan mengayunkan tangannya untuk mengajak Kokonoi bergabung untuk menemani dirinya. Jika mau. Koko dengan langkah cepat namun sedikit lemas membiarkan dirinya terkena tiupan angin malam dingin sehabis hujan demi menemani kekasihnya.

“Pulang yuk, udah malem. Dingin habis hujan kan tadi? Kamu kesini naik apa? Mobil kan?”

Banyak sekali pertanyaan yang dilontakan untuk Seishu dari sang kekasih, membuatnya hanya bisa tersenyum kecil dan kembali meneguk alkoholnya.

“Nanti ya sayang kita pulangnya, aku masih mumet takut marah nanti kamu yang kena kan aku ga enak.”

“Tapi jangan minum terus. Katanya janji ga bakalan minum lagi.”

“Aku kan pusing Ko. Kalau aku ga salurin ke minum aku harus salurin ke siapa?”

“Ada aku. Aku rela kamu marahin terus. Biasanya kamu kaya gitu kan ke aku?”

Seishu mengusap-ngusap wajahnya dan membuka ikatan rambut yang setia menemaninya selama di perjalanan menuju tepi sungai gelap saat ini.

“Kamu naik motor? Hujan-hujan gini naik motor? Kalau kamu sakit gimana, Sei?”

“Ya kalau sakit istirahat Ko. Aku gabakalan gimana-gimana.”

Jawaban yang diberikan oleh kekasihnya hanya bisa membuat Koko menatapnya heran. Baru kali ini selama 4 tahun lamanya berpacaran dengan Seishu, bisa membuat pria cantik dengan luka bakar dibagian mata sebelah kiri ini seperti menyalahkan dirinya atas perbuatan yang tidak dilakukannya.

“Kamu ga bakalan putusin aku kan Sei?”

Pertanyaan Koko disambut dengan tatapan sayu dari sang kekasih. Seperti memberi pertanyaan dari pertanyaan yang dilontarkan dirinya.

“Kamu mau putus? Cape ya?”

Bisa dibilang saat ini perasaan dalam jantung Kokonoi berada di puncak. Jika dilepas Seishu bisa menjadi sasarannya untuk menyalurkan amarahnya.

“Engga. Aku ga mau. Itu aku tanya kamu, Sei. Apa kurang jelas?”

“Jelas. Aku bahkan ga pernah mention sama sekali soal putus loh Ko? Kenapa kamu tanya gini?”

“Kamu tiba-tiba pergi. Kamu bilang ga jadi nginep di apartment ku. Kamu pergi naik motor sejauh 114 km dari apartment ku naik motor. Aku cuman khawatir Seihu. Aku khawatir! Aku ga marah, aku ga mau putus atau hal-hal lainnya. A-aku cuman k-khawa-khawtir Seishu!

“Aku marah. Aku marah sama diri aku. Bukan sama kamu. Aku ga mau, ga ada niat sama sekali marah sama kamu. Aku sayang kamu Seishu, aku sayang kamu.”

Reaksi yang diberikan Seishu hanya tersenyum kecil kepada Koko. Menatap matanya sebisa mungkin dengan tatapan dari wajah dirinya yang sudah 60% dikuasa oleh alkohol. Lalu sebatang rokok kembali dinyalakan dan dihirup udaranya oleh Seishu.

“Berhenti kerja sama Manjiro. Aku udah tau semuanya dari Manjiro waktu aku ketemu dia tadi siang.

“Lucu sih Ko, selama ini kamu selalu cerita kalau kamu kerja selalu dibagian pemasukan atau pengeluaran uang, tapi ternyata kamu juga kerja ambil uang, cara ngehasilin uang dari barang itu da-dan hal la-lainnya yang aku ga-gatau.”

Kokonoi memeluk kekasihnya dari samping dan meminta maaf karena dirinya sudah berbohong selama ini, “Aku ga bisa bilang karena aku tau khawatirnya kamu kaya gimana, Sei. Makanya aku diem dan bohong selama ini.”

“APA AKU GA KHAWATIR JUGA SAMA KAMU KOKONOI HAJIME?! APA KAMU ANGGEP AKU ANAK KECIL? AKU BUKAN ANAK KECIL KOKO! AKU SUDAH DEWASA. AKU MENGERTI PEKERJAAN KAMU. KENAPA KAMU SELALU GA BILANG SAMA AKU SIH? APA KAMU LEBIH SERING PENDEM CERITA KAMU DAN BILANG BAIK-BAIK AJA? SEDANGKAN AKU SEKECIL KENA PISAU PUN HARUS LAPOR KAMU? A-aku c-c-ca-pe Ko kal-kalau harus kaya gini te-terus ...”

Mengeluarkan seluruh pikiran yang mengganjal hati dan pikirannya, menyampaikannya dengan nada tinggi dengan aroma alkohol bercampur rokok yang mendominasi, akhirnya Kokonoi paham mengapa Seishu akhir-akhir ini selalu datang ke tempatnya bekerja dengan Manjiro. Selalu mengatakan bahwa dirinya khawatir dan selalu meminta Koko untuk berhenti bekerja dengan Manjiro. Kali ini ia paham. Sangat paham.

“Inui Seishu. Aku minta maaf, aku ga tau kalau kamu sekhawatir itu sama kamu. Kalau kamu berpikir aku risih sama rasa khawatir kamu, engga sayang aku ga sama sekali risih. Aku seneng. Aku makin sayang sama kamu. Aku minta maaf. Kenapa kamu ga bilang sama aku dari awal?” Seishu melepas pelukan Koko dan bersiap kembali untuk beradu argumen dengan kekasihnya yang keras kepala dihadapannya ini.

“Aku? Ga bilang sama kamu dari awal? Yang bener aja Koko. Aku bilang dari awal 4 bulan kamu masuk pekerjaan itu dan aku selalu bilang kamu untuk jangan kerja sama Manjiro. Jangan kerja sama pekerjaan kotor. Tapi hasil apa? Kamu selalu jawab kalau team inti dari pekerjaa itu temen-temen kamu kan? Terus aku bisa apa kalau kamu udah bales kaya gitu, Ko?”

“Sei? Aku minta maaf.”

“Udah aku maafin kamu dari lama Ko. Aku ga pernah marah sama kamu. Aku selalu kesel. Aku merasa bodoh, kenapa ga aku paksa terus kamu buat keluar dari pekerjaan itu.”

“No-no-no. Kamu ga bodoh, aku yang bodoh ga denger saran kamu dari awal.”

Diam. Setelah kalimat yang Koko keluarkan, Sei tidak kembali menanggapi dan memilih untuk membenamkan kepalanya pada kaki yang ia teguk.

10 menit suasana hening mendominasi akhirnya dari percakapan mereka. Seishu tidak juga mengangkat kepalanya dan Koko yang masih merasa bersalah karena tidak bisa memengerti perasaan kekasihnya selama ini.

“Sei? Pulang yuk? Udah mau jam 5 pagi...”

Tidak ada jawaban. Apa Seishu tertidur?”

“Sei?” panggilnya sekali lagi.

Akhirnya Koko mengangkat pelan kepala kekasinya dan ternyata benar sedari tadi kekasihnya ini sudha tertidur.

“Dasar Seishu.”

Akhirnya Koko membopong Seishu menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mereka mengobrol selama 4 jam lebih lamanya.

“Maafin aku ya Sei. Aku bodoh banget,” ucapnya disusul dengan kecupan kecil di pipi kiri kekasihnya.

tw // drugs, mention of blood cw // harshwords

“Ngapain si Rin, Koko harus sampe turun tangan kaya gini? Maksud gue kenapa harus bagian ini??! Katanya Koko ga bakalan dapet bagian bunuh orang, tapi kenapa dia dapet terus sekarang di sekap?”

Pertanyaan berentetan diberikan kepada Rindou yang tengah sibuk mengendarai mobilnya. Mendengar pertanyaan dari yang lebih tua membuat dirinya harus bisa menahan amarah, karena bagaimana lagi, ini Seishu, pacar dari partner kerjanya sendiri.

“Sebentar lagi sampai. Ga usah banyak ngomong atau nanya, nanti kalau Koko udah kita bawa lo baru tanya semuanya sama Koko atau gue. Ga ada yang tau soal ini, kecuali gue, Koko, sama Manjiro.”

Rin memarkirkan mobilnya tepat di halaman depan sebuah bangunan tua yang mungkin jika terjadi aksi tembak-menembak akan rubuh dengan cepat.

“Lo masuk lewat pintu samping, Koko kayaknya di sekap di sekitar lantai 3 atau 4.”

“Lo kenapa tau Koko disekap disana?”

“Sei. Udah gue bilang nanyanya nanti aja.”

Seishu mengangguk dan segera berlari menuju lantai yang dimaksud Rin. Dengan langkah pasti, Seishu menghampiri setiap ruangan dengan pintu terbuka, berharap Koko segera ditemukan oleh dirinya sendiri.

Suara handphone Sei berbunyi, “Kenapa Rin?”

“Lantai 3 bangunan paling pojok. Koko disini.”

Seishu melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang dimaksud Rin. Dirinya khawatir? Sangat. Tapi bagaimana lagi, ini pekerjaan yang Koko pilih setelah ia dinyatakan mati saja oleh keluarganya.


Sedangkan di dalam ruangan tidak hanya berisi Koko dan 4 orang yang penyekapnya. Ada Ran dan Kakucho disana, mereka bertiga tertangkap juga.

Rin yang tidak ditugaskan apa-apa oleh Manjiro, memutuskan untuk diam di rumahnya dan tidak ada niat untuk pergi ke kantor. Namun sayang seribu sayang, Manjiro menelfonnya dan mengatakan bahwa Ran, Koko, dan Kakucho yang tengah pertugas mengantarkan obat illegal waktu itu tertangkap. Ini sudah kali kedua mereka ketahuan, pada percobaan pertama Koko lah yang menjadi korban tembakan dari pihak lawan.

“KOKO!!”

Kokonoi berbalik dan membulatkan matanya.

“SEISHUUU!!??? KAMU PULANGG JANGAN DISINIIIII AKU MOHONN!”

Rindou pun sama terkejutnya, melihat kakak kandungnya sendiri telah berlumuran darah disekujur tubuhnya. Dengan amarah yang sudah tidak bisa tertahan lagi, dia melawan para musuh yang ada di hadapannya tanpa ampun. Begitu pula dengan Seishu, dia tanpa ampun memberikan berkali-kali pukulan keras kepada musuh kekasihnya dan membuat keempat orang tersebut tidak sadarkan diri.

Dengan cepat, Rin dan Seishu membuka tali yang mengikat mereka bertiga. Karena Ran dengan keadaannya yang sudah lemas dan berdiri saja tidak sanggup, Rin menggendongnya hingga ke parkiran.

Untung saja, orang-orang yang Rin dan Seishu pukuli tidak membawa anak buah lainnya.

“Makasih ya Rin, Sei.”

Kakucho berpamitan dan segera membawa Ran dan Rindou kembali ke kantor untuk diobati.

“Ki-ki-kita pu-pulang aja S-Sei,” ucap Koko terbata-bata sebelum dirinya tidak sadarkan diri dalam dekapan Seishu.

“Koko! “Anjing lo Manjiro. Kenapa ga lo sendiri yang turun tangan? Cuci tangan pake temen lo sendiri?”

“Aku ga pernah loh lupa ngabarin kamu meskipun aku sakit. Kenapa kamu ga telfon aku aja? Aku kan ada di apartment terus, aku bosen nunggu kamu 4 hari ga boleh diganggu. Padahal kamu minta waktu itu cuman 2 hari. Aku iyain aku kira kamu aman, ga kenapa-kenapa. Kenapa pas aku sampai sini kamu malah kena tembak? Kamu aneh Ko, aku kadang kesel sama kamu kalau kaya gitu, lain kali jangan gitu ya?!”

Rentetan celotehan panjang Seishu membuat Kokonoi hanya bisa memijat pelipis kepalanya pelan. Pusing.

“Iya, sayang. Aku minta maaf. Kata Ran ga usah kabarin kamu, soalnya kan anak-anak juga tau kamu kaya gimana.”

Permintaan maaf Koko memang begini. Menjelaskan yang sebenarnya terjadi, yang sebenarnya membuat dirinya tidak boleh memberi kabar pacarnya jika terjadi hal tidak enak mengenai dirinya.

“Tapi Koko! Aku pacar kamu. Kalau bukan pacar kamu ya gapapa. Orang aku ini pacar kamu!” Seishu selesai mengupas buah kesukaan Koko, melon.

Menyuapinya seperti anak kecil yang tengah sakit, Kokonoi sudah bersamanya selama 4 tahun. Semenjak kehilangan kedua orang tuanya dan juga seorang kakak karena kejadian kebakaran rumahnya, membuat Kokonoi memberi amanat pada dirinya untuk menjaga Seishu. Sampai dia mati.

“Besok aku kerja ke luar, kamu mau ikut?” tanya Koko sambil merogoh kantung celananya.

“Kemana?”

“Paris. Mau?”

“MAUUUU!!!” teriak Seishu senang. Koko membalasnya dengan leguk senyum yang disukai oleh Inui.

Seishu dan Koko mengakhiri sesi di dalam kamar dan berpindah ke rumah tengah apartment milik si tunggal keluarga Kokonoi.

“Mau nonton apa? Netflix? Atau mukbang youtube?”

“Sei, aku kriminal masa nonton mukbang? Yang bener aja kamu.”

“Ya kriminal juga manusia kan? Kamu suka makan juga.”

“Ga ah, jijik gitu liat orang makan.”

“Makan biasa, bukan ASMR juga.”

“Engga, Sei. Kalau aku bilang engga, ya engga.”

“Ya udah ga usah!” Seishu melempar remot TV tersebut ke depan meja dihadapannya.

“Iya maaf, jangan marah. Terserah Sei mau nonton apa, aku ngikut.”

Seishu melebarkan giginya dan dengan senang mengambil remote yang sudah dilemparnya tadi.

“Emmm kalau horror. Kamu takut ga?”

“Engga, aku tiap kerja liat darah masa takut hantu.”

“Iya ya bener. “Tapi, Ko. Kamu pernah ambil bagian bunuh orang ga?”

“Manjiro ga pernah bolehin. Kalau boleh ya aku mau, aku kan bisa berantem.”

“Manjiro udah turun ya? Udah ga ikut Bonten lagi?”

“Dibelakang. Sekarang yang pegang Ran sama Bang Mochi.”

“Ohhh, kalau aku tiba-tiba berbuat jahat terus kamu dapet kerja buat mengintai terus bunuh aku gimana?”

“Bunuh diri aja aku. Ngapain aku bunuh kamu?”

“Sayang deh aku sama kamu, Ko.”

“Aku juga sayang kamu, Sei. Banget.”

Berakhirlah mereka dengan saling memeluk dan menonton film yang sudah dipilih Sei.

Selesai mengirim pesan kepada sang calon suaminya, Taiju. Mitsuya segara membersihkan diri dan bersiap untuk menemui seseorang yang sebenarnya ia juga penasaran, ada apa hubungan sebenarnya antara dia dengan Ran.

Selama Mitsuya hidup baru kali ini ia merasa sangat penasaran dengan seseorang yang tidak ia kenal. Padahal, Mitsuya sendiri adalah tipikal yang sangat tidak peduli dengan sekitar yang tidak ia kenal- contohnya seperti Ran Haitani, yang bagi Mitsuya tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan pribadinya.

Mengenakan hoodie hitam oversize milik Taiju dan juga celana jeans biru berbalut sepatu hitam membuat siapa saja akan merasa gemas melihat Mitsuya yang terlihat mungil mengenakan pakaian tersebut.

Hari ini cuaca cukup bersahabat dan membuat suasana hati Mitsuya pun tidak terlalu campur aduk karena permintaan Manjiro untuk menemuinya dengan seorang yang benar-benar ia tidak kenal.


Lonceng pintu kafe milik Manjiro berbunyi, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam kafenya tersebut.

“Taka! Sini.”

Manjiro memanggil Mitsuya dengan suara yang cukup keras, untung tidak terlalu banyak pengunjung di kafe milik temannya tersebut.

Mitsuya menghampiri Manjiro yang tengah duduk bersama seorang pria tinggi berambut ungu sama seperti dirinya.

“Sini, sini. Mau pesen apa?” sebenarnya ini Manjiro basa-basi agar perbincangan Ran dan Mitsuya bisa terselesaikan tanpa dirinya.

“Bebas,” balas Mitsuya singkat namun dengan tatapan 'lo mau kemana' kepada Manjiro.

Namun Manjiro mengabaikan tatapan Mitsuya dan bergegas membuatkan Mitsuya minuman kesukannya.

Dihadapan Ran saat ini adalah sesosok yang ia cari selama berbulan-bulan. Apakah benar Mitsuya tidak mengenalinya dan bahkan untuk sampai ke tahap berpacaran saja mustahil rasanya.

“Lo Ran Haitani?” Mitsuya membuka percakapan lebih awal.

Ran mengangguk kaku, “Sorry kalau gue ganggu waktu lo buat ketemu gue. Ga basa-basi ya, ada satu hal yang pengen gue kasih tau ke lo.”

Manjiro selesai membuatkan pesanan milik Mitsuya dan ia juga bergabung untuk mengetahui sebenarnya ada apa diantara Mitsuya dan Ran.

“Gue gapapa kan disini?” izin Manjiro.

Ran mengangguk.

“Jadi gini. Gue sempet kecelakaan beberapa bulan lalu dan reaksi temen-temen bahkan keluarga gue seperti aneh sama gue. Kaya mereka ga percaya kalau ini gue, Haitani Ran. Adik gue, Rindou bilang sama gue kalau diantara gue dan lo, Mitsuya ga ada apa-apa. Padahal sebelum gue sakit, gue inget dengan jelas bahwa gue itu pacar lo dan gue udah kasar sama lo.

“Sorry.”

Mitsuya mengangguk.

“Gue ga pernah nyangka ternyata gue sama lo bener-bener ga ada hubungan sama sekali. Gue sempet dm lo via twitter dan Taiju yang bales. Setau gue, seinget gue kalau Taiju itu musuh lo karena udah bakar jas graduation lo yang lo buat sendiri waktu SMA.

“Dan karena kayaknya memang di sini gue ada hubungan sama lo atau bahkan kenal pun baru sekarang. Gue mau bilang kalau gue minta maaf atas segala hal yang pernah gue lakuin ke lo, segala hal buruk yang gue lakuin ke lo, entah itu disengaja atau pun engga. Gue sayang banget sama lo Mitsuya. Cuman ga ada ya cara buat gue jadi milik lo dan begitu pula sebaliknya.”

Mitsuya meneguk minumannya dan menghela nafas.

“Ran. Percaya dunia paralel?”

Ran menggeleng.

“Gue percaya. Mungkin itu diri gue yang di dunia lain. Dunia yang ada gue tapi tidak dengan pemikirannya dan kejadiannya atau mungkin ini cuman jadi pengingat diri lo dari Tuhan biar lo ga semena-mena sama pasangan lo selanjutnya atau pasangan lo yang sekarang. Sebenarnya makasih lo udah mau cerita panjang gini ke gue dan juga Manjiro. Tapi gue minta maaf, soal perasaan yang lo bahas tadi kalau gue jadi Mitsuya di alam sana gue kecewa sama lo bahkan ga mau lagi kenal sama lo. Dan untuk gue yang disini pun gue udah ada calon suami yang bisa lebih memengerti gue selama gue berhubungan sama dia selama 7 tahun.”

Ran mengerti. Memang tidak ada celah bagi dirinya untuk kembali mendapatkan Mitsuya meskipun di dunia yang lainnya sekalipun.

“Tapi lo kenal Taiju.” tanya Mitsuya.

“Iya. Gue kenal dia, cuman ga terlalu deket.”

Mitsuya mengambil barang dari tasnya, “Ini. Taiju yang suruh kasih buat lo. Kalau lo mau dateng, dateng aja sama Haruchiyo. Dia cantik Ran. Gue kenal baik Haru. Setiap hari dia cerita tentang lo ke gue.

“Soal gue ga kenal lo. Sebenarnya gue tau jelas diri lo dari yang Haru ceritain. Tapi gue pun pura-pura ga tau aja, lagian itu Haru yang ceritain bukan gue yang memang pure kenal sama lo.

“Jagain Haru, Ran. Adik lo kayaknya tertarik sama Haru.”

“Thanks. Sebisa gue nanti dateng.”

characther belongs to Ken Wakui, ooc, m/m, sanmai slight rinzu, drakey.


Sekitarnya sering mengingatkan mengenai perasaan yang tidak akan terbalas dengan cepat, jika yang ditujunya adalah seorang yang terpandang dan memiliki kegiatan yang cukup padat.

Memata-matainya tiada henti, mengingatkannya untuk istirahat melalui perantara, dan memberikan segala atensinya pun melalui perantara langsung maupun tidak langsung. Apapun yang berhubungan dengan si pirang 'nya ia akan terus berusaha untuk melindungi, meskipun nyawa taruhannya.

Kebetulan yang hari ini terjadi, dipastikan akan kembali terjadi. Pertemuan tidak sengaja dan cukup lama seorang Sanzu Haruchiyo dengan si pujaannya, Sano Manjiro.

Senyum manis yang diberikan membuatnya tidak ingin melepaskan pandangannya. Memperhatikannya dengan tatapan yang teduh dan tidak segan untuk mengabadikan seseorang di depannya yang tengah berbicara menggunakan ponsel yang layarnya sudah hampir rusak sempurna.

Sekitar 45 menit Manjiro berbicara di hadapan banyak orang, akhirnya sesi akhir sudah dipersiapkan. Berfoto. Satu sesi yang ingin sekali Sanzu rasakan. Meskipun harus berfoto dengan banyak orang, bagi Sanzu itu adalah moment yang sangat menyenangkan sekaligus membuatnya bahagia sepanjang hari.

Ia pastikan, malam ini akan bahagia sampai pagi kembali datang.


Dua minggu setelah kegiatan yang diadakan di kafe dekat Fakultas Seni, Sanzu kembali bertemu dengan Manjiro. 

Sanzu berani bersumpah atas nama Tuhan. Bahwa hari ini dimana ia kembali berjumpa dengan Manjiro, Manjiro terlihat lebih cantik dan wajah cerahnya kembali bersinar. 

Seperti hari-harinya pada umumnya, Manjiro di kelilingi oleh orang baik disekitarnya. Ada Mitsuya si anak fashion yang sekaligus kekasih seorang ketua BEM - Haitani Ran, kemudian ada Baji teman semasa kecilnya yang kini sudah tidak terlalu dekat dengannya. Disusul oleh Chifuyu dan Kazutora yang baru saja memasuki kafe secara bersamaan, dan Draken yang tidak pernah absen sama sekali berada di samping Manjiro.

Sanzu pernah berharap, berdoa pada Tuhan agar suatu saat nanti Manjiro akan menjadi kekasihnya meskipun entah kapan doa tersebut akan terwujud. Sanzu memang tidak pernah secara terang-terangan mengutarakan perasaan kagum dan sukanya pada Manjiro. Sanzu tau betul, bagaimana sibuknya Manjiro dan juga orang-orang di sekeliling Manjiro yang akan melindunginya dari apapun.

Sanzu juga tidak akan pernah memaksakan keadaan agar Manjiro menjadi miliknya atau bahkan menjadi kekasihnya sampai salah satu diantara mereka meninggalkan dunia fana ini.

“Sanzu Haruchiyo ya? Boleh gue ikut duduk sini ga?” suara itu. Suara yang penuh dengan kapas lembut, terlalu sopan untuk didengar telinganya yang sering mendengarkan nada suara yang keras dan kasar.

Takut salah dengan perasaannya, Sanzu berbalik memastikan siapa tadi yang izin untuk duduk di samping kursi kosong dekatnya.

“Eh, Manjiro. Sini duduk aja gapapa,” jawabnya kikuk dihadapkan oleh si manis yang sibuk membawa laptop dan buku catatan di tangan kanan dan kirinya.

Manjiro menaruh laptop dan buku catatannya terburu, untung dibantu oleh Sanzu. Jika tidak; kopi, laptop, buku catatan yang ia bawa akan berantakan jatuh ke bawah.

“Udah lama duduk disini? Gue perhatiin dari pojok tadi kayaknya asik banget sama layar laptopnya. Lagi ngapain?“ 

Sanzu kaget. Apa barusan katanya, perhatiin? Bagaimana bisa ia merasa baik-baik saja sekarang jika barusan saja orang yang disukainya bilang memperhatikannya dari jauh.

“Eh i-iya nih gue lagi ngerjain tugas aja. Lo sendiri tumben ga sama yang lain?” tanya Sanzu basa-basi ingin lebih lama dengan si cantiknya.

“Biasalah lagi pada sibuk masing-masing, Kenchin ga ikut karena di suruh Bang Shin ke bengkel sih jadi ga bisa nememin.”

Deg.

Perasaan sakit hati yang mendadak muncul saat pria kecil dihadapannya ini mengucapkan satu kata yang sebenarnya tidak terlalu ia suka, Kenchin. Nama panggilan yang sering sekali Manjiro ucapkan jika bersama dengan Draken atau memanggil namanya.

Sanzu tau bahwa ia sangat sulit untuk mendapatkan atensi bahkan afeksi dari seorang Sano Manjiro. Sanzu merasa tidak pantas untuk mendapatkan kedua hal itu dari siapapun, apalagi dari seseorang dihadapannya ini. Mimpi.

Tiba-tiba Manjiro menyodorkan ponselnya dihadapannya, “Mau tukeran nomor ga? Sejak SD dulu kita udah lost contact gitu aja deh. Gue juga jadi ga tau kabar lo, Senju, sama Bang Omi. Mereka berdua sehat-sehat 'kan?“ 

Ah, iya. Lupa memberi tau. Sanzu, Baji, dan Senju adiknya, dulu adalah teman dan mereka sama-sama berlatih judo di tempat kakeknya Manjiro. Namun, karena sebuah insiden buruk yang dituduhkan padanya, mereka tidak kembali bercengkrama bahkan kembali bermain bersama.

Sanzu pergi secara mendadak dan meninggalkan kota dimana seharusnya ia tinggal. Hanya meninggalkan perasaan bersalah bagi siapa saja yang tidak memperhatikannya, menyakitinya, dan menuduh dirinya atas kejadian 13 tahun lalu.

Hari dimana Sanzu mendapatkan lukanya, hari dimana Sanzu mendapatkan rasa tidak layak dicintai, dan hari dimana Sanzu tidak ingin kembali menjadi seorang Akashi Haruchiyo di hadapan banyak orang. Ia ingin merubah semuanya, semua yang ada pada dirinya, dirinya, identitasnya, dan hal lain yang menurutnya hanya membuat lukanya kembali teringat.

Namun siapa sangka, saat hari dimana ia menjadi seorang mahasiswa baru, semuanya kembali terulang, teringat, tersebar pada pikirannya dan hatinya yang sudah lama mati.

Baji. Orang pertama yang ia temui saat kegiatan orientasi seluruh fakultas. Saat Sanzu bertemu Baji secara tidak sengaja, pada saat itu juga terjadi kontak mata dengan si surai panjang hitam pekat. Ada Chifuyu dan Kazutora juga disana. Sanzu gelisah pada saat itu, berharap Baji sudah tidak mengenalinya. 

Tapi dugaannya salah. Baji malah menghampirinya dan bertanya, “Belum puas bikin masalah? Belum puas gue hajar? Kalau belum puas dateng ke gedung mangkrak sebelah fakultas teknik. Temuin gue disana.”

Sanzu menelan saliva dalam kerongkongannya, namun tetap terasa kering. Ia takut benar akan dihajar oleh Baji. Karena saat itu Baji benar-benar ada di pihak Manjiro dan juga kakak mereka.

Dengan berani dan membuka masker yang selama ini menemaninya, “Engga, Ji. Gue ga bakalan ganggu diantara kalian semua. Semoga bahagia terus ya Ji sama anak-anak Toman.”

Sanzu dan Baji sudahkan percakapan itu dengan Baji yang acuh dengan jawaban akhir yang diberikan Sanzu. Mungkin Baji memang benar-benar sudah tidak peduli dengannya.

“Halo? Sanzu? Ko ngelamun?” Manjiro mengerakkan tangannya dihadapan wajah Sanzu, membuat si surai merah muda itu tersadar dari lamunannya.

Sanzu tersenyum dan menyetujui yang Manjiro pinta untuk bertukar nomor telfon. Kopi yang dipesannya sudah mulai terasa hambar, berarti sudah waktunya pulang dan mengerjakan sisa tugasnya di rumah.

“Manjiro, gue pulang duluan ya. Nanti kalau sempet kita ketemu lagi,” Sanzu selesai membereskan barang-barangnya dan segera bangkit dari tempat duduknya.

Manjiro yang melihat Sanzu seperti terburu sedikit bingung. Sedari tadi Manjiro perhatikan saat ia masih bersama teman-temannya, Sanzu hanya diam dan laptop di depannya pun hanya dipasang dengan kabel earphone tanpa membuka software ms word atau pun yang lainnya. Ia benar-benar hanya mendengarkan lagu.

“Serius udah selesai atau menghindari dari gue, Zu? Ini udah kesekian kalinya gue perhatiin lo ngehindar dari gue. Gue ada salah sama lo? Kalau ada bilang aja Zu jangan kaya gini,” Manjiro benar-benar menahan tangan Sanzu yang sudah hampir bangkit dari tempat duduknya.

Sanzu tersenyum dan melepas tangan Manjiro pelan, “Gue ga pernah merasa ada masalah sama lo kok, Jiro. Gue beneran udah selesai nugas dan harus pulang.”

Manjiro yang tidak percaya tetap memaksa Sanzu untuk tetap menjelaskan apa yang mengangguk pikirannya dan apa yang menjadikannya seperti menghindari darinya.

“Bilang aja. Gue ga bakalan gimana-gimana sama lo,” ucap Manjiro memaksa Sanzu untuk bercerita.

Sanzu menggeleng cepat. Ia benar-benar tidak ingin kembali mengingat kejadian lampau yang dialami olehnya dan juga teman-temannya dulu. “Sorry ya Jiro. Gue pulang dulu, ketemu lagi lain waktu.”

Sanzu berhasil menghindar dan keluar dari dalam kafe, “Setidaknya gue udah ketemu empat mata sama lo, Jiro.”


Semester-semester terberat dalam perkuliahan akhirnya terselesaikan dengan cepat dan aman. Sanzu kini sudah selesai dengan kegiatan magang dan juga beberapa hal persiapan untuk skripsi beberapa semester kedepan. Dan sekarang, dihadapannya sudah ada si cantik pirang yang menemaninya.

“Hari ini kamu mau aku temenin kemana, Jiro?” tanyanya sambil terfokus pada seatbelt kepada seorang dihadapannya.

“Aku pengen ke bioskop nonton series Marvel, boleh? Soalnya kata Kenchin itu asik banget jadi aku pengen coba nonton,” jawabnya bersemangat. Sanzu yang mengajak tidak terlalu senang. Senyumnya memudar sebelum memasang senyum palsu pada kekasih dihadapannya ini.

Ah, Kenchin. Masih saja Manjiro memanggil Draken dengan sebutan itu.  “Manjiro. Kamu ga ada panggilan sayang buat aku ya?” Sanzu sudah muak, akhirnya ia bertanya secara gamblang pada seorang dihadapannya.

“Eh? Ada dong. Tapi tumben kamu nyinggung pertanyaan ini?“  Sanzu menyalakan mesin mobilnya dan mengarahkannya keluar dari dalam kampus menuju mall untuk menonton bersama Manjiro, kekasihnya.

Ya, setelah beberapa bulan lamanya akhirnya Sanzu berhasil mendapatkan atensi dan afeksi dan seorang Sano Manjiro. Meskipun ia harus tetap mengalah dan selalu terkalahkan oleh seorang yang selalu dekat dengan Manjiro, yaitu Draken. Ryuguji Ken.

Kisah sederhana mereka sudah berjalan sekitar 5 bulan lamanya. Masih terlalu awal memang, tapi bagi Sanzu mendapatkan Manjiro dan bertahan selama 5 bulan adalah langkah awalnya melupakan hal-hal buruk dalam pikiran dan juga hatinya.

“Haru, tapi aku udah janjian juga sama yang lain buat nonton Marvel. Kamu gapapa 'kan nonton bareng mereka juga?” Manjiro dengan polosnya mengatakan hal itu padanya. Sudah jelas hari ini adalah hari tepat 5 bulan mereka berpacaran, tapi selalu saja ada teman-teman Manjiro yang mengganggu kegiatan berdua mereka-lebih tepatnya Manjiro yang selalu mengundang.

Dengan terpaksa dan juga senyum palsunya Sanzu menjawab, “Iya gapapa. Nanti kita nonton bareng mereka juga,” sebenarnya jika boleh Sanzu ingin sekali mengutuk satu-satu teman Manjiro untuk berhalangan hadir hari ini dan tidak mengganggu agenda mereka berdua.


Hubungan yang semakin merenggang, hubungan yang sebenarnya sudah tidak bisa diselamatkan karena pihak yang selama ini ia kejar sudah termakan oleh omongan seseorang yang bahkan tidak tau kebenarannya sama sekali.

Dalam mobil yang hening dan hanya diisi oleh rintikan hujan deras, Sanzu dan Manjiro masih terdiam tidak ada yang mau membuka suara. Padahal ini sudah hampir 2 jam mereka berdiam dalam mobil.

“Aku yang bakalan ngomong duluan,” tegas Manjiro memecah keheningan dan juga ia merasa muak sudah bertemu tapi si peminta tidak berbicara sepatah kata pun.

“Dua tahun kita kaya gini tapi kamu ga pernah ngertiin posisi aku sama temen-temen aku. Bahkan hal-hal kecil yang aku lakuin bareng temen-temen aku, kamu ga pernah sama sekali terlihat seneng atau bahkan excited. Aku ga nyalahi kamu Chiyo, tapi aku ngerasa apa yang kamu lakuin tuh ga sesuai sama apa yang kamu janjiin dulu-dulu,” Manjiro berhenti sejenak. Mengambil nafas dan melihat reaksi seorang dihadapannya ini.

“Chiyo, kalau aku boleh jujur. Kalau ternyata selama ini aku ga pernah ada rasa cinta ke kamu gimana?” tutur kata Manjiro bagian ini membuat Sanzu bereaksi, membelalakan kedua matanya dan ingin marah pada detik itu juga.

Tapi Sanzu tidak memperlihatkan perasaan marahnya pada Manjiro. Ia hanya tersenyum dan membawa tangan Manjiro pada pipi kanannya.  Selama tiga menit Manjiro menghitung Sanzu masih belum juga ingin berkomentar. Tiba-tiba ponsel Manjiro berdering, ada telfon masuk dan ingin segera di jawab.

Sanzu membuka matanya. Melihat Manjiro mengangkat telfon tersebut dan menjawab deretan pertanyaan yang diberikan oleh si penelfon. “Udah selesai?” tanya Sanzu basa-basi. “Oke, kali ini aku bereaksi atas pertanyaan dan pernyataan kamu.”

Sanzu membenarkan posisi duduknya, membuat dirinya berhadapan dengan si surai pirang dihadapannya.

“Aku tau. Aku selalu kalah dari Draken. Yang barusan telfon kamu Draken 'kan? Maaf kalau aku malah bikin kamu jauh dari temen-temen kamu, bikin kamu terganggu dari kegiatan kamu, atau mungkin bikin kamu risih? Aku minta maaf. Aku ga pernah merasa nyesel untuk punya hubungan lebih dari sekedar teman sama kamu kaya gini, Manjiro. Aku seneng banget. Setidaknya mimpi aku ada yang terwujud 'kan?” Sanzu melepas genggaman tangannya dari tangan Manjiro.

“Kamu setelah ini ada janjian sama Draken?” tanya Sanzu memastikan apa yang ada dalam pikirannya tadi selama Manjiro mengangkat telfon.

Manjiro mengangguk, “Dia jemput aku kesini. Tentang hubngan kita sekarang. Aku mau kita selesai, Sanzu.”

Sanzu mengambil nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Seperti seorang yang menahan rasa ingin menangis dan sakit hati yang luar biasa.

“Iya. Kamu capek ya? Aku minta maaf ya. Aku — ”

Secara bersamaan tiba-tiba terang lampu mobil menyinari kaca mobil Sanzu. Mobil hitam bmw itu sudah ia ketahui milik si pria tato naga di pelipis bagian kepala kanannya.

“ — aku minta maaf sekali lagi,” sambung Sanzu dan membiarkan Manjiro keluar dijemput oleh Draken.

“Lain kali ga usah aneh-aneh sama Manjiro. Kalau dia ga suka jangan dipaksa!” sindir Draken dan membawa Manjiro ke dalam mobilnya dan meninggalkan Sanzu disana sendirian dengan mobil penuh aroma coklat milik Manjiro.


“Sanzu Haruchiyo? Ini Rindou. Lo kapan mau bangun? Gue nungguin lo. Udah ya istirahatnya, sekarang ada gue yang bakalan nanggung bareng rasa sakit lo waktu dulu-dulu.”

:tbc.

m/m, characther belong to Ken Wakui, harshword & ooc, slight Hankazu. Ransuyafess event; RansuyaSepekanPenuhCinta


Layaknya sebuah permainan Domino, semuanya butuh proses panjang dan rusak dengan cepat tanpa penjelasan yang rinci. Begitupula seluruh kepercayaan yang sudah dibangun susah payah oleh si sulung Haitani kepada kekasihnya, Mitsuya Takashi.

Kendala sulit mempercayai orang baru dan sulit membuka hati kembali untuk orang baru, Ran selaku si sulung Haitani dengan cepat dipatahkan kepercayaan yang dia bangun dengan sedemikian rupa oleh sang kekasih. Tanpa sepatah dua kata seluruh ketakutannya terwuju dengan begitu cepat. Hal-hal yang sebenarnya ingin ia rasakan juga seperti teman-temannya ternyata terlalu sulit juga untuk dia rasakan.

“Ran. Gue berani sumpah kalau Takashi tuh bukan orang kaya gitu. Lagian lo mikir ga sih buat apa dia share your privacy ke orang lain demi hal-hal yang bahkan ga ada gunanya juga buat lo maupun hubungan lo berdua,” jelas Hanma yang kini tengah berkumpul dengan Ran dan kawan-kawan lainnya.

“Tapi, Ma. Lo tau kan gue punya trust issues yang bahkan lo juga kadang kesel sama issues gue yang itu. Susah Ma, susah.” jawab Ran.

“Ya terus setelah 3 tahun ini lo bangun hubungan sama Takashi, lo mau putus gitu aja? Sedangkan Takashi nungguin lo dari jaman SMP loh, Ran. Lo ga kasian sama dia? Kalau dihitung dia udah nungguin lo sekitar 9 tahun cuman buat dapet kepercayaan dari lo.”

Ran yang mendengar penjelasan Hanma- temannya, hanya diam dan menikmati sebatang rokok yang entah sudah habis berapa.

“Lo boleh curiga, tapi kalau lo kasih silent treatment gini ke Takashi yang ada dia juga bingung sendiri kesalahan dia dimana. Mending kalau dia sadar, kalau engga?” tambah Hanma. “Gue cabut dulu mau jemput Kajut, kalau lo butuh apa-apa telfon gue lagian anak-anak juga belum ada yang tau masalah lo yang ini kan?”

Hanma pergi meninggalkan Ran dan juga perkumpulannya dengan teman-teman lainnya.

Ran yang masih bingung juga antara harus percaya dirinya atau penjelasan kekasihnya nanti saat mereka bertemu.

“RAN!” teriak Shion dari arah belakang.

“Hah?!”

“Mitsuya noh nyariin lo di depan, katanya mau ngobrol.”

“Makasih, gue cabut ke depan dulu.”

Ran menghampiri Mitsuya yang ternyata benar sudah ada di depan cafe milik si sulung Sano.

Sendirian. Dan juga membawa tas ransel besar yang mungkin berisi baju?

“Eh, kak. Maaf ya ganggu waktunya sama temen-temen.” ucap Mitsuya sambil tersenyum.

“Gapapa. Kenapa ga telfon dulu mau kesini?”

“Handphone ku rusak. Aku cuman mau minta izin aja sama Kak Ran.”

“Izin kemana?”

Mitsuya menghela nafasnya dan memberikan secarik kertas kapada Ran, “Jangan dulu dibuka. Nanti setelah aku pergi baru dibuka.”

Ran mengangguk paham dan mengambil suratnya, “Kamu mau kemana bawa ransel besar gini?”

“Mau pulang. Maaf ya Kak, aku denger dari Rin katanya Kak Ran males ya sama aku? Udah mulai bosen? Maaf ya kalau aku bikin risih selama tiga tahun ini dan matahin kepercayaan Kak Ran. Tapi aku berani sumpah, aku ga ngelakuin hal apapun yang berhubung sama hal-hal yang bersifat pribadi tentang Kak Ran.”

Mitsuya mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.

Gelang. Disana juga terpasang replika kartu domino.

“Pake ya. Hubungan kita kaya domino, aku keinget waktu mau jalan kesini kebetulan juga liat bapa-bapa yang jualan gelang dan aku liat gelang ini. Aku juga punya kok, nih.” kata Mitsuya sambil memperlihatkan gelang domino yang juga ia kenakan di tangan kirinya.

“Makasih, Taka.”

“Sama-sama.”

“Hubungan kita?” tanya Mitsuya langsung pada tujuan dia menghampiri Ran.

Ran yang kaget tidak langsung menjawab.

“Kamu berniat putusin aku kan, Ran?”

Ran memasang wajah bingung dan kesal. Untuk apa ia berniat mengakhiri hubungannya dengan Mitsuya hanya karena isu yang belum jelas benar atau tidaknya.

“Engga. Aku ga ada niat buat putusin kamu, buat apa?”

“Akhir-akhir ini kamu cuekin aku. Bales pesan pun lama, aku kira kamu memang lagi pendekatan sama yang lain?”

“Engga, Taka. Demi Tuhan ga ada aku kaya gitu, kamu dapet kabar kaya gitu dari siapa?”

Mitsuya menidurkan keningnya pada tumpukkan tangannya di meja. Ran yang melihat kekasihnya bingung karena ia mendiamkannya dan cuek merasa bersalah.

“Aku minta maaf.

Ran mengelus surai lila di depannya.

“Aku ga ada niat diemin kamu kaya gini, cuman aku kaget makanya aku diemin kamu. Aku kira orang-orang tau itu karena kamu yang kasih tau ke orang lain atau cerita ke orang lain.”

“Ran. Aku sayang kamu. Sembilan tahun aku nunggu kamu, aku nunggu kamu percaya sama aku sepenuhnya dan itu susah buat aku dapetin. Dan untuk apa aku kasih info penting kamu ke orang lain?”

“Maaf. Aku ga ada niatan, Taka. Aku minta maaf.”

Domino pun bisa dibangun kembali. Kembali membangun bersama meskipun halangannya besar sama seperti di awal.

“Boleh kita bangun lagi kepercayaan kita masing-masing?” tanya Ran, ragu.

“Kamu tau lirik lagu Night Changes punya One Direction ga?”

“Aku tau lagunya, tapi untuk liriknya engga. Kenapa?”

We're only gettin' older. But there's nothing to be afraid of. Even when the night changes. It will never change me and you.”

Ran tersenyum, “Maaf ya.”

“Tapi, Ran. Aku tetep harus pulang. Ibu sakit.”

“Aku anterin.”

“Gapapa ga usah.”

“Katanya It will never change?”

“Ya udah, iya.”

m/m, charachter belongs to Ken Wakui, ooc & harshword. 1,4k words Ransuyafess event; RansuyaSepekanPenuhCinta


Beranjak dewasa, sibuk dengan kisah hidup masing-masing, sibuk dengan penataan masa depan, yang pasti dalam proses penataan masing-masing dari mereka akan kembali bercengkrama atau bahkan kembali tercatat dalam bab kehidupan mereka kedepannya.

Seperti malam ini, seluruh alumni dari tiga angkatan Toman High School tengah berkumpul, kembali bercengkrama dan bercanda. Ada si mantan ketua osis yang kembali di bongkar kebodohannya, ada si pentolan sekolah yang kembali menjadi pusat perhatian karena kisah hidupnya yang pantas didengar oleh banyak orang, dan si manis dari masing-masing angkatan yang malah menjadi sahabat dalam satu organisasi kampus yang sama.

Lalu, bagaimana dengan si jagoan gombal yang selalu memenangkan seluruh hari perempuan dan lelaki di sekolahnya dulu?

Kisahnya masih sama, masih mengejar satu lelaki pendiam yang sebenarnya tidak pendiam, hanya perlu waktu untuk bisa bercengkrama bebas dengannya.

Namanya Mitsuya Takashi dan Haitani Ran.

Mitsuya yang satu tahun dibawah Ran sudah pasti menjaga image dan tingkah laku pada si sulung Haitani. Bukan enggan untuk menjadi akrab, namun Mitsuya tau jelas siapa Haitani Ran dan julukan apa yang melekat padanya.

Malam semakin larut, banyak beberapa dari mereka yang sudah pamit pulang terlebih dahulu karena besok masih termasuk hari kerja dan kuliah. Hanya orang-orang yang saling terhubung yang masih berdiam dan meneguk minumannya di halaman luas pribadi milik keluarga Hajime.

Bahkan si pemilik halaman pun sudah pergi meninggalkan tempat tersebut untuk mengobrol dengan sang kekasih di ruangannya– Inui Seishu.

Truth or dare ga sih, broo? Udah lama banget engga. Terakhir waktu kita-kita sebelum lulus tuh waktu angkatan gue ada masalah sama angkatan Ran.” ucap Manjiro dengan nada suara yang bersemangat.

“Gue inget banget anjing. Dulu gue garda terdepan ya anjir, gara-gara ada Rin di sana. Kalau ga ada mah gue males banget ikut campur.” balas Ran.

“Lagian kalau ga ada Abang juga gue mah maju-maju aja. Toh ada Chiyo yang jagain gue di belakang.” jelas Rin.

Baji, Chifuyu, dan Kazutora sudah mengambil peralatan mereka untuk bermain truth or dare.

“Gue yang pegang gamenya ya?!” seru Kazutora.

“Gue temenin ayang!!!” tambah Hanma.

“Ga bisa! Kazu juga lo main ya meskipun pegang gamenya!” perintah Manjiro.

“Jangan teriak-teriak udah malem, ga enak.” ucap Draken pelan pada Manjiro tepat di telinganya.

“Geli Kenchin. Iya aku pelan-pelan juga ini ngomongnya.” jawab Manjiro.

“Ayo-ayooo!!! Bikin barisan. Caranya gini aja. Kan ini si Michi paling depan ya, nah kalau bola pingpongnya masuk ke angka ganjil berarti truth, kalau masuk ke angka genap berarti dare, kalau gagal masukin ada tiga kesempatan ngulang, tapi kalau masih gagal juga beresin halamannya Koko, jangan sama Mba. Oke ga?!” teriak Manjiro bersemangat.

“OKEEE!! MANTAP KETUA!” balas semuanya.

“Sip. Silahkan Hanagaki Takemichi yang terhormat sang ketua Himpunan.” persilahkan Manjiro kepada Takemichi.

Takemichi melempar bola pingpongnya dan masuk ke dalam gelas plastik berangka genap.

“Oke. Dare yaaaa?!!” ucap Kazutora selaku pemimpin permainan.

“Eh aneh-aneh gue cabut balik ya.” jawab Takemichi.

“Siapa yang mau kasih dare??” tanya Kazutora.

“Gue gue!!”

Sanzu Haruchiyo. Penentang guru terhandal di sekolah. Satu angkatan dengan Takemichi.

“Gue mohon ya Ru, jangan aneh-aneh udah malem.” pinta Takemichi memohon.

“Ga aneh gue mah. Ini aja deh, telfon Hinata terus lo bilang “Sayang, tiga bulan lagi kita nikah ya. Harus mau ga ada penolakan.” Loud speaker ya.” jelas Haruchiyo.

“Sumpah?! Ini udah jam 11 anjir, gue takut ganggu.”

“Engga belum tidur serius.”

Dengan pasrah Takemichi mengikuti dare dari Haru.

“Iya sayang kenapa? Udah selesai dari acara reuninya?”

“Engga, belum.”

“Kenapa telfon?”

“Emm itu... Tiga bulan lagi kita nikah ya? Ga ada penolakan.”**

“Iya. Mau besok juga aku mah ayo aja, asal sama kamu.”

Semua orang disana menahan tawa. Pasti setelah ini akan terjadi kekacauan karena Hinata- pacar Takemichi, bukanlah sesosok perempuan yang suka di prank-prank seperti ini.

“Udah.”

“Oke. Lanjut.”


Malam semakin larut. Tersisa Ran di barisan terakhir.

“Aduh, pentolan plus tukang gombal kita balik lagi nih.” ucap Manjiro mengambil alih pimpinan game.

“Males banget deh lo.”

“Karena udah malem. Langsung dare aja ya Bang? Gimana? Oke sip ga ada penolakan.” ucap dan jawab Manjiro.

“Oke deh buat lo.”

“Darenya dari gue aja.”

“Iya sip boleh, apa?”

“JADIAN SAMA MITSUYA TAKASHI. JANGAN DIEM-DIEM GINI!” ucap Manjiro bersemangat.

“MANJIRO! Jangan teriak. Ini udah jam satu malem.” tegas Draken direspon dengan bibir cemberut Manjiro.

Mitsuya disana yang tengah santai dengan makanannya hampir tersedak mendengar namanya di teriaki oleh Manjiro. Dan apa katanya? Jadian? Yang benar saja.

Mitsuya memang sering bertukar kabar hingga kini dengan Ran, bahkan juga mereka sering keluar bersama, meskipun hanya sekedar makan malam atau mengerjakan tugas bersama.

“Mik. Apa-apaan sih lo?!” bisik Mitsuya mendekat kepada Manjiro.

“Lo demen kan sama Ran? Udah biar ini urusan gue.” jawab Manjiro singkat.

“Tapi gue malu!”

“Jangan.”

Ran menerima tantangan dari Manjiro. Ia mengambil gitar di samping Hanma dan memetik gitar tersebut.

“Ini gue jadinya harus confess secara terbuka ya sama Mitsuya? Padahal rencananya mau nanti sehabis UAS biar ada waktu buat liburan bareng.

“Tapi gapapa deh. Lebih cepat lebih baik.”

Ran mengambil kursi di depannya, memetik gitar dan mulai bernyanyi.

“Sebelum itu, sorry banget gue ga bisa nyanyi. Tapi semoga lo paham maksud gue nyanyi ini itu apa, oke Mitsuya?”

Mitsuya malu bukan main, pipinya memerah seperti kepiting rebus yang benar-benar sudah matang.

Ran menghela nafasnya,

My baby, my Valentine Boy, na you dey make my temperature dey rise

If you leave me, I go die, I swear You are like the oxygen I need to survive I'll be honest Your loving dey totori me

I am so obsessed I want to chop your nkwobi

Ran mengakhirinya dengan senyuman manis yang mungkin baru kali ini semua orang disana melihat Ran tersenyum dengan tulus dan tidak ada maksud lain selain cinta dan sayang?

“Untuk Mitsuya Takashi. Gue tau jelas lo itu selalu mengindar dari gue karena gue yang di kenal sering flirting sana-sini. Tapi, denger gue. Semenjak gue kenal lo kelas dua belas, dua tahun lalu. Gue bener-bener jatuh cinta sama lo, gue sayang sama lo, gue mau lo, lo, lo, dan lo. Creepy ya? Tapi gue sesayang itu sama lo. I'm kinda obsess with you, I guess. Tapi gue juga dalam waktu yang sama takut kalau gue cuman obsess sama lo, bukan cinta, maka dari itu gue selalu maju mundur buat akrab sama lo.

Ran menjeda penjelasannya.

“Emm. Mitsuya. Hari ini Valentine's day. So,

“Wanna be mine?

“It's not just a dare. Ini serius.”

Disana. Mistuya benar-benar bingung, ia ingin namun takut, ragu, dan segala hal buruk menerjang pikirannya tiba-tiba.

“Hey! Look at me!” Manjiro memegang pundak Mitsuya.

“Ini Ran Haitani, yang selalu lo omongin tiap detik ke gue. Dia habis confess ke lo, dan perasaan lo udah jelas kan sekarang? Terbalaskan Mistuya! Stop overthinking, okey? You deserve to be happy.” jelas Manjiro coba menenangkan Mitsuya.

Ran menghampiri Mitsuya, memegang tangannya dan berkata, “Halo Gemini yang paling manis satu semesta. Gue Haitani Ran. Gue sayang sama lo. Want to be mine?”

Mitsuya mengangguk disusul dengan air matanya yang menetes tiba-tiba.

Ran yang panik langsung memeluk Mitsuya. Senang tapi panik.

“Kenapa?!”

Mitsuya menggeleng. “Gue seneng. Eh, aku seneng.”

“Gemes.

“Makasih ya?”

Mitsuya meregangkan pelukannya pada Ran, “Perihal?”

“Perasaan gue terbalaskan juga, Taka. Eh boleh kan?”

Mitsuya tersenyum keci, mengangguk, dan kembali memeluk Ran.

“YEY!” teriak semua orang disana.

Tiba-tiba si pemilik halaman kembali dalam acara dengan pakaian piyama.

“Udah jadian?” tanya Koko mengacak rambutnya, ngantuk.

“Udah dong.” jawab Ran.

“Oke. ART gue aja yang beresin ini. Lo semua cabut ke atas gih, kamarnya pada bagi-bagi aja ya. Kamar gue pake juga gapapa, gue sama Nupi di kamar gue satunya lagi.” jelas Koko dan disetujui oleh mereka.


Ran dan Mitsuya satu kamar dengan Manjiro, Draken, Baji, dan Chifuyu. Mereka semua sudah tertidur pulas menyisakan Ran dan Mitsuya yang masih sibuk dengan perasaan masing-masing.

Ran yang sedari tadi mencoba untuk tidur, tidak bisa terus ditatap begitu oleh Mitsuya.

“Kenapa liatin kaya gitu? Ada yang salah ya? Aneh ya rambut ku di gerai kaya gini?”

Mitsuya dengan cepat menggeleng, “Lucu kamu rambutnya di gerai kaya gitu.”

Ran mengelus surai lila milik Mitsuya, “Minggu-minggu ini kamu sibuk?”

“Engga kayaknya, kenapa?”

“Mau aku ajak beli cincin.”

“Oh buat Mama kamu? Sebentar lagi ulang tahun, ya?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Aku sama kamu. Bukannya cinta yang udah lama lebih baik cepet-cepet di abadikan ya?”

“Maksud kamu?”

“Nikah, sayang.”

Mitsuya langsung memasang wajah bingung, tidak mengerti maksud dari ucapan Ran barusan.

“Engga sayang bercanda. Nanti kita bakalan menikah, kok. Engga sekarang,” disusul dengan Ran mengceup kening Mitsuya.

“Bobo ya cantik, yang lain udah jauh tuh mimpinya.”

Mitsuya mengangguk dan bersembunyi di bawah lengan Ran.

Reuninya, acaranya, semuanya indah. Terima kasih. batin Mitsuya.