al.

tags ; bxb, harsh words,

Disebuah gedung bertingkat yang terletak di tengah kota metropolitan, terdapat dua orang, sepasang kekasih yang bingung tentang lanjutan dari hubungan mereka yang sudah berjalan selama tiga tahun lamana.

Haitani Ran dan Mitsuya Takashi. Dua pria yang berpikir mereka sudah dewasa, ternyata tidak.

Teman-temannya kadang bingung dengan tingkah laku bahkan pemikiran mereka berdua yang sering kali membuat emosi orang disekitarnya. Padahal mereka hanya bercerita tentang kesehariannya.

“Lain kali kalau kamu mau jalan sama Taiju bilang dulu sama aku. Jadi aku ga perlu cape-cape nyuruh orang buat nonjokkin Taiju yang sebenarnya orang-orang yang aku suruh ga seberapa sama otot punya si Taiju-Taiju itu,” jelas lelaki berambut pirang di sampingnya.

“Padahal aku udah bilang sama kamu kan Ran beberapa hari lalu, kalau hari Rabu kemarin aku memang mau nugas sama Taiju, bahkan anak-anak yang lainpun ada. Kenapa kamu curiganya sama Taiju doang?”

Ran menghirup asap rokoknya sendiri. Mencoba menenangkan pikirannya yang kalut karena takut kekasihnya diambil oleh orang lain.

“Aku sempet denger kalau kamu dulu deket sama Taiju. Jujur aku takut kamu diambil sama dia, kalau kamu beneran ninggalin aku demi dia. Terus aku? Aku memang bukan orang baik buat kamu, tapi aku berusaha seimbang jadi pribadi yang baik karena aku pacar kamu,” jelasnya.

“Lucu.”

Mitsuya membalikkan badannya. Menatap mata dalam-dalam yang dimiliki seorang Ran Haitani. Coklat pekat warna matanya membuat Mitsuya juga enggan meninggalkan Ran sendirian. Lagi.

“Aku minta maaf dulu pernah kabur dari kamu. Aku cape banget waktu itu, kamu bener-bener sibuk sama dunia kamu. Aku dilupain.”

“Sekarang engga. Ga bakalan.”

“Iya, aku percaya.”

tags ; nsfw, murder, drugs, mental health, family issue, slight bxb, kissing, harsh words, intinya tidak untuk umur dibawah 18 tahun.

Hembusan angin kencang menemani perjalanan seorang pria berambut merah muda pulang menuju apartmentnya.

Untuk kali ini ia sedikit tergesa-gesa dan panik dalam perjalanan. Tidak seperti biasanya.

Dua jam lalu, pria bersurai merah muda ini mendapatkan telfon dari seorang petinggi di kalangan seperti dirinya ; pembunuh, membunuh, dibunuh.

Tidak ada perasaan aneh ketika dirinya menerima telfon dalam beberapa menit. Namun setelah itu semuanya berubah dan menganggu dirinya, pikirannya, bahkan hati kecilnya.

Hati kecil yang tergerak karena semua itu berhubungan dengan kekasihnya yang juga bekerja dengannya ; untuknya. Kekasihnya tidak sama sekali bekerja dengan bos besarnya atau bos lain di kalangan tempatnya bekerja.

Sebelumnya ia mengirimkan beberapa pesan pada kekasihnya untuk memilih siapa target selanjutnya yang akan ia tembak mati di minggu depan.

Kali ini pilihan spesial bagi kekasihnya. Karena selama ia bekerja untuknya, ia tidak pernah memilih siapa targetnya, apa tujuannya, dan akan diapakan setelah targetnya di bunuh.

Akashi Haruchiyo. Begitulah nama asli yang sebenarnya. Fakta sebenarnya ia terlalu malas untuk menggunakan marga Ayahnya.

Butuh satu jam untuk sampai di apartement miliknya dan kekasihnya. Lantai 7 dengan kamar bernomor 66 sudah dibelinya selama 4 tahun untuk tinggal bersama kekasihnya dan bertukar pikiran setiap pukul 3 pagi sebelum mereka berangkat untuk bekerja.

Menekan beberapa tombol nomor untuk membuka pintu yang sudah dipastikan tidak akan dibuka jika ia mengetuk sebanyak 100 kali sekalipun.

Sebelum itu kekasihnya mengirimkan pesan, bahwa saat ini ia tengah mabuk karena merasa gila jika harus memilih target yang harus di bunuhnya minggu depan.

“Sayang,” ucap Chiyo dengan nada lembut, berusaha tidak membangunkan kekasih cantiknya yang sudah terlelap.

Chiyo bergegas mengangkat tubuh kekasihnya, memindahkannya ke dalam kamar.

“Ka Chiyooo.”

Chiyo menoleh ke arah kekasihnya.

Berantakan.

“Jangan ya. Biar aku aja.”

Hanya dua kalimat yang bisa kekasihnya ucapkan, setelah itu ia kembali tertidur karena ia benar-benar sudah menghabiskan 5 botol alkohol sendirian.

Chiyo tersenyum. Mengecup kening kekasihnya dan membiarkannya untuk tidur.

Ia melihat ke arah sekitar. Apartementnya cukup berantakan.

Baju kotor dimana-mana, botol alkohol pecah berserakan, obat juga berserakan, dan piring bertumpuk di tempat cucian piring.

“Sayang, aku juga ga mau ninggalin kamu dalam kondisi kaya gini.”

Chiyo membereskan semua kekacauan yang ada.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, Chiyo baru saja selesai dengan semua kekacauan yang tadi ia lihat.

Kini ia tengah duduk di samping kekasihnya, memperhatikannya tidur adalah kegiatan favoritnya selama ini. Namun saja semuanya tertunda dan tidak lagi terjadi selama beberapa minggu kebelakang.

Dirinya dan kekasihnya di sibukkan dengan hal-hal keji yang tidak membiarkan mereka untuk sekedar beristirahat barang 10 menit saja.

“Kamu selalu cantik. Maafin kakak malah ajak kamu kekehidupan ga bener kaya gini.”

Chiyo menangis, ia merasa bersalah karena membawa perempuan polosnya ini kedalam dunia gelap miliknya.

Membiarkannya menyentuh benda-benda yang seharusnya tidak ia pegang, meminum dan memakan hal-hal yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuhnya. Ia benar-benar merasa bersalah.

“Ka.”

Chiyo menghapus air matanya, melirik wajah kekasihnya sebagai jawaban.

“Biar ade yang dibunuh ya? Kakak tetep disini aja, kerja.”

Chiyo menggeleng, “Buat apa? Kakak ga mau kehilangan kamu

Perempuan kesayangan di sampingnya ini membenarkan posisinya, “Ka, ade juga kalau hidup tanpa ka Chiyo buat apa? Kakak di bunuh, ade yang bunuh. Kalau ade pilih ka Mikey pun, kakak yang bakalan di bunuh kan?” Chiyo membuang nafasnya kasar, memeluk kekasihnya erat seperti tidak ada hari esok untuk memeluknya.

“Chiyo yang udah bawa kamu ke dunia Chiyo kan? Kamu harus balik lagi jadi diri kamu sebelum ketemu Chiyo – “

Perkataannya dijeda. Chiyo membalikkan badannya agar bisa menatap wajah kekasihnya. “ – seadainya Chiyo ga pergi ninggalin kamu, Chiyo takut kamu jadi makin terbawa. Chiyo udah pernah bilang jangan sentuh obat Chiyo, Chiyo minta kamu tau biar kalau Chiyo kambuh kamu bisa kasih obatnya buat Chiyo, bukan kamu yang ngabisin tanpa takaran, Sayang.”

Kekasihnya hanya menatap Chiyo dengan tatapan sayu, memang itu ciri khasnya. Tatapan sayu yang membuat Chiyo jatuh hati padanya 7 tahun lalu di sekitar perumahan Tenjiku — perumahan yang terkenal karena semua keluarga berisi mantan ketua gang besar dari berbagai negara.

Saat itu Chiyo kecil tengah bermain dengan teman-teman sebayanya. Mikey, Kokonoi, Kakucho, si kembar Haitani, Ka Mucho, dan kakaknya Takeomi adalah teman terdekat Chiyo semasa kecil.

Chiyo dididik oleh kakak dan orang tuanya menjadi pribadi yang mandiri, tidak manja, tidak keras kepala, dan sebisa mungkin menjadi pribadi yang baik.

Namun, Chiyo kecil sering kali disiksa secara diam-diam oleh ayahnya. Tidak pernah ada yang tau kejadian kejam itu. Chiyo kecil benar-benar menutupi semua penderitaannya sendiri, sampai dimana ia kenal dengan beberapa berandalan dan ia nyaman berada disana, membuatnya seperti ada di rumah melebihi rumahnya sendiri.

Chiyo kecil tidak pernah bolos dalam pelajaran, selalu di tingkat pertama kelas, bahkan ia juga juara satu mengalahkan 100 sekolah terbaik yang ada di kotanya dalam lomba sains dan debat.

Tapi, Chiyo kecil juga pernah mengalahkan 10 orang 4 tahun di atasnya. Sendirian. Mencoba menyelamatkan seorang perempuan yang tengah berjalan — sepertinya pulang sekolah.

Chiyo mendapatkan beberapa bogem dari orang-orang yang ia kalahkan tadi. Tapi semuanya tidak terasa karena Chiyo sudah biasa mendapatkan tonjokkan seperti itu.

“Kamu gapapa?” tanya Chiyo pada perempuan kecil yang ia tolong.

Perempuan itu tidak menjawab, malah memeluk Chiyo sekuat tenaga yang masih tersisa.

“Aku takut. Itu semua pasti suruhan Papa buat jemput aku, tapi semuanya keterlaluan. Papa juga!”

Setelah mengatakan itu ia menangis dalam pelukan Chiyo. Chiyo mengerti karena Chiyo juga memiliki adik kecil seumuran dengan perempuan ini.

“Rumah kamu dimana? Biar aku anterin.”

“Nanti Papa aku marah kalau bukan orang suruhannya yang anterin aku.” Chiyo berpikir keras tentang pernyataan itu.

“Gimana kalau kamu pulang dulu ke rumah kedua aku?” tawar Chiyo tanpa beban.

“Boleh Ka? Tapi nanti aku malah ngerepotin Papa sama Mama kakak dirumah.”

Chiyo menggeleng cepat, “Bukan rumah yang ada Papa sama Mama aku ko. Ini isinya cuman temen-temen aku sama kakak-kakak aku aja. Tapi kalau kamu ga mau gapapa aku anterin ke rumah kamu, biar aku aja yang nanti di hajar Papa kamu.”

Perempuan kecil itu mengangguk, menyetujui ajakan Chiyo menuju rumah keduanya.

Diperjalanan baik Chiyo dan juga perempuan kecil yang ia tolong banyak bertukar cerita.

Mulai dari dunia sekolah mereka, pelajaran, orang tuan, teman, bahkan sisi gelap masing-masing.

“CHIYOOO!” teriak seseorang dengan lambaian tangan.

Chiyo membalas lambaian tangan tersebut, “Itu Kakak aku, namanya Takeomi. Nanti aku kenalin kamu sama temen-temen aku oke?”

Ia mengangguk dan tersenyum manis kearah Chiyo.

Cup!

Chiyo mengecup pipi kanan perempuan kecil di sampingnya.

“Ka Chiyo? Ko cium-cium aku? Nanti Papa marahin Ka Chiyo loh,” ucap perempuan kecil manis disampingnya.

“Gapapa, nanti Chiyo tanggung jawab. Kamu nikah sama Chiyo mau ga?”

“Ka Chiyo memang udah punya rumah?”

Chiyo menggeleng.

“Tuh kan. Kata almarhum bunda kalau ada yang mau nikahin aku harus udah punya rumah dulu biar ga bingung mau bobo dimana nanti.”

Chiyo hanya ber-oh saja melihat kelakuan si kecil disampingnya ini. Jujur saja Chiyo benar-benar hampir gila karena sikap manis anak kecil yang ia tolong tadi.

“Aku mau nikahin kamu. Kamu gemes soalnya.”


Waktu berjalan dengan cepat. Perempuan yang ia tolong kini sudah beranjak dewasa, begitu juga dirinya.

Terhitung sejak 5 tahun lamanya mereka tidak bertemu, sejak kejadian terakhir Chiyo mengajaknya untuk bertemu dengan anggota di rumah keduanya.

“CHIYO! ADA TAMU BUAT LO. CEWE.” teriak salah satu temannya.

“Ganggu aja gue lagi menikmati istirahat yang bos kasih juga elah.”

Chiyo keluar dari dalam ruangan tempatnya beristirahat,menghampiri seseorang yang ingin bertemu dengannya tadi.

“Siap-pa?”

Chiyo kaget. Kaget bukan main.

Perempuan itu menghampiri Chiyo, memeluknya erat dan menangis.

“Ka Chiyoo,, ini aku..”

Chiyo masih shock. Lupa. Gadis yang memeluknya ini siapa?

Lima menit mereka tidak bergerak membiarkan semuanya dicerna.

“Lo? Cewe kecil yang dulu gue tolong kan?”

Ia mengangguk.

“Ko bisa tau gue disini dan mau ketemu gue ada apa?”

“Kangen!”

Chiyo tersedak air ludahnya sendiri.

Pelukannya merenggang, tidak ada balasan sama sekali dari yang dipeluk.

“Aku ganggu ya? Maaf.”

Chiyo menarik tangan perempuan itu dalam pelukannya. Ia juga sama, merindukannya.

Tanpa kabar, tanpa cerita sedikitpun. Chiyo, Akashi Haruchiyo. Benar-benar merindukan cinta pertamanya.

“Kamu tau darimana aku disini?”

“Aku masih inget rumah kedua kakak, aku bahkan gatau rumah pertama kakak.”

“Maaf ya tiba-tiba ngilang.”

“Aku yang harusnya minta maaf tiba-tiba Papa nampar kakak 5 tahun lalu.”

“EKHEM!”

Chiyo refleks melepas pelukannya karena seseorang yang berdehem di belakangnya.

“Ajak masuk kali Zu, gimana sih. Mana cewe lagi,” titah seseorang berambut putih dengan tato dileher belakang.

Chiyo mengajaknya masuk kedalam rumah.

Semuanya berubah. Interior, cat dinding, dan hal-hal lainnya lagi. Untuk kali ini, rumah ini di dominasi dengan warna hitam, putih, dan merah.

“Udah berubah semuanya, disuruh si Mikey.”

Perempuan itu hanya mengangguk. Chiyo masih menggenggam tangannya, tidak ingin melepaskan.

“Mau ke atas? Sekarang ada rooftopnya,” tawar Chiyo dengan senyuman mepamerkan gigi rapinya.

Ia mengangguk.

“Ka Chiyo.”

Chiyo menoleh ke sumber suara. “Kita, bisa nikah ga?”

“Ya bisa. Masa ga bisa sih.”

“Kapan?”

“Hah?”

“Maksud aku, kapan kita menikah.”

“Kakak bukan Tuhan. Kakak juga ga punya pacar.”

“Si Sanzu nungguin cewe yang dia selametin lima tahun lalu. Jadi ngejomblo aja terus sampe sekarang,” celetuk Rindou yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.

“Bacot ngentot! Abang lo tuh dah beres, sana samperin.”

Yang dibentak hanya mengejek dan turun kebawah menghampiri yang lain membiarkan Chiyo dan masa lalunya reuni.

“Tadi Ka Rin ya kalau aku ga lupa?”

“Kamu masih inget?”

Ia mengangguk.

“Iya itu Rin.”

Mereka berdua diam setelah pertanyaan itu terjawab.

Dua puluh menit mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing

“Ka Chiyo

“Iya?”

“Aku boleh cerita?”

“Boleh banget. Kenapa?”

“Suruhan Papa. Pernah coba perkosa aku – “

Tatapan Chiyo menjadi tajam, marah, kesal. Semuanya bercampur menjadi satu ekspresi.

” – Papa gatau. Seandainya aku kasih tau pun Papa ga bakalan percaya sama aku, dia bakal lebih percaya sama suruhannya.”

“Tapi kamu ga kenapa-kenapa kan?”

Ia menggeleng, “Aku berhasil kabur. Aku pergi dari rumah sampai detik ini pun aku belum pulang sama sekali.”

“Aku ga tau kabar Papa. Tapi aku denger-denger Papa meninggal gara-gara kecelakaan. Aku sedih waktu itu, aku ga punya orang buat lari, buat ngadu, jadi aku nyoba juga buat nyusul Papa sama Bunda di surga.”

Chiyo yang mendengar ceritanya hanya bisa tersenyum pahit, ia juga tidak tau kabar ayah dan adiknya bagaimana sekarang. Sudah sejak lama Chiyo meninggalkan rumah mengikuti kakaknya untuk pindah kesini.

“Aku sempet di tolong sama seseorang. Orangnya ada tato gitu di tangan kanan sama kirinya. Rambutnya juga dicat kuning yang tengahnya – “

“Hanma.”

Ucapan perempuan itu di potong oleh Chiyo untuk menjawab siapa lelaki yang menolongnya kala percobaan bunuh diri tersebut.

“Temen ka Chiyo?”

“Bukan.”

“Ooh gitu. Tapi ko Kakak kenal?”

“Kamu ga perlu tau.”

Yang dijawab hanya mengangguk paham. Tidak ingin mengetahui lebih jauh sebelum diizinkan.

“CHIYO! CEWE LO MAU MAKAN APA?!” teriak seseorang yang Chiyo sudah yakini itu Ran yang sudah di dapur bersama kekasihnya — Mitsuya.

“Kamu mau makan apa?”

“Terserah ka Chiyo.”

“Aku kebawah dulu sebentar.”

Chiyo meninggalkannya untuk mengambil makanan yang sudah Ran siapkan.

Satu piring pasta, sushi, dan cola.

“Kamu suka ini? Kalau engga aku ganti dulu ke bawah.”

“Suka ko.”

Ia memakannya dengan lahap. Chiyo yang memperhatikannya hanya bisa tersenyum kecil, kebahagiannya akan segera kembali terukir.

Jam dinding yang terpasang di kamar Chiyo sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia bingung harus membawa wanita ini pulang atau membiarkannya tinggal di rumah ini.

“Mau tidur disini?” tanya Chiyo memastikan. Ia ingin meminta izin Mikey untuk membiarkannya menginap disini barang sehari atau dua hari.

“Boleh?”

“Aku tanya Mikey dulu.”

Chiyo keluar dari kamarnya, menghampiri Mikey yang tengah sibuk di ruang bawah tanah dengan mainan kesukaannya.

“Manjiro!” panggil Chiyo sedikit keras.

“Gue lagi pegang pisau. Jangan mancing.”

“Maaf ga sengaja.”

“Mau apa? Bantuin?”

“Bukan. Gue mau minta izin.”

Mikey membalikkan tubuhnya, mendorong kepala seorang pria cantik dibawah Mikey yang tengah memanjakan miliknya.

Chiyo yang melihatnya sedikit malas, ini sudah malam tapi masih saja ia bermain dengan peliharaannya.

“Gimana?”

“Cewe tadi, mau nginep sini boleh?”

Mikey mengangguk, “Udahnya gue bunuh boleh?”

Chiyo menatap tajam, tidak terima.

“Bercanda Sanzu sayang. Boleh ko, tapi jangan lama-lama. Minta koneksi Koko buat beliin lo apartment. Jangan tinggal disini, anak-anak takut ga suka.”

Chiyo mengangguk.

“Ada bayarannya.”

“Apa?”

“Lo.”

“Gue?”

“Jadi anjing peliharaan gue atau – “

Perkataannya dijeda. Mikey mencium bibir Chiyo sekilas. “ – lo gue bunuh.”

“Iya. Makasih buat izinnya. Gue minta dua hari dia tinggal disini. Gapapa kan?”

Mikey mengangguk dan kembali menyuruh peliharaannya itu melanjutkan permainannya yang tertunda tadi.

“Draken pergi lo makin gila ya Jiro.”

Chiyo baru saja membuka pintu langsung diserang pertanyaan.

“Gimana Ka?”

Chiyo mengangguk.

“Dua hari doang Mikey ngizinnya. Besok temenin cari apartment ya. Biar aku yang beli. Kita nikah.”

Perempuan itu tersenyum manis dan mengangguk. Membenarkan posisinya untuk tidur. Mengajak Chiyo juga untuk tertidur disampingnya.

“Selimutnya kamu aja yang pake. Aku udah biasa ga pake selimut ko.”

Yang disuruh ber-oh saja menyetujui suruhan Chiyo.

Chiyo tidak langsung tidur. Memikirkan cara agar ia saja yang dibunuh nantinya sebagai ganti.

“Ka. Buruan tidur.”

“Iya cantik iya. Aku tidur nih sebelah kamu.”

Chiyo dipeluk, merasakan kehangatan yang entah kapan terakhir ia rasakan.


“Sanzu. Lo mau beli apart daerah mana?” tanya Koko.

Chiyo dan teman-temannya kini tengah berkumpul di ruang kerja mereka. Memilih siapa lagi target yang akan mereka incar dan tembak mati beberapa hari berikutnya.

“Satu jam dari sini aja Ko, lo tau rekomendasi?”

Koko mengecek ponselnya, menekan beberapa tombol keyboardnya dan menelfon seseorang.

“Zu,” panggil Mikey.

Chiyo menghampiri Mikey.

“Cewe lo. Itu yang dulu lo kenalin ke kita-kita?”

“Iya. Kenapa?”

“Ajak kerja sama lo aja. Nyawa dia aman. Tapi lo, tetep bayarannya.”

“Ngaco. Gue ga bakalan ajak dia, biar gue aja.”

“Ya kali aja nanti dia kepo sama kerjaan lo? Sekarang cewenya dimana?”

“Masih di kamar gue.”

“Boleh main? Sebentar.”

Chiyo menggeleng, “Jangan sentuh. Aneh banget lo.”

Mikey menarik dasi yang dikenakan Chiyo, “Tiga puluh menit ya Sanzu, gue tunggu di ruangan gue. Ga ada penolakan.”

Mikey mencium Chiyo dan pergi meninggalkan ruang kerja.

“Zu. Udah nih,” ucap Koko.

Chiyo diperlihatkan pada gedung apartment yang lumayan besar jika hanya dihuni olehnya dan perempuan yang ia tolong dulu.

“Bisa sekarang gue kesana?”

Koko mengangguk, “Ada Inupi disana, nanti ambil aja kuncinya.”

“Masih ceritanya sama Inupi?”

Koko tersenyum sinis, “Ga bakalan gue lepas. Ga bisa.”

“Long last deh. Gue cabut dulu. Thanks ya by the way.”

“Anytime. Bro.”

Chiyo pergi meninggalkan ruang kerja menuju kamarnya.

“Ayo. Apartmentnya udah ada,” ajak Chiyo.

“Cepet banget?”

“Bukan aku yang urus, sama Koko jadi cepet.”

Perempuan itu mengangguk. Memakai jaket hitamnya dan tidak lupa masker hitam yang diberi Chiyo untuk bersembunyi, kali saja suruhan Papanya masih mencarinya.


Dingin menyelimuti kamar mereka. Padahal semua jendela tertutup bahkan AC dalam kamar mereka sama sekali tidak dinyalakan.

“Sayang. Aku sayang kamu.”

“Jangankan ka Chiyo. Aku aja sayang sama ka Chiyo.”

Kini mereka berdua diizinkan tidak bekerja. Chiyo mendapat diskon hari libur dari Mikey selama satu minggu ; sampai hari kematiannya datang.

“Seandainya ka Chiyo ga ada di pilihan itu. Memang pilihan kedua ka Mikey sebagai bayaran aku tinggal disana 4 tahun lalu apa?”

“Kamu ga perlu tau, cukup kakak sama Mikey aja yang tau.”

“Aku perlu tau, soalnya aku ada disana. Aku berikut campur.”

“Kamu dijadiin pajangan disana. Organ dalem kamu, Mikey suka organ dalem. Dia koleksi banyak, bahkan kakak angkatnya pun yang ga sengaja ketembak ada tuh jantungnya di kamar Mikey.”

Yang mendengar penjelasan itu hanya bisa menahan mual. Entah karena efek alkohol atau memang rincian itu yang membuatnya merinding.

“We should married.”

“We should die together.”

Chiyo menggeleng.

“I should. You should choose me. That's will be better.”

“No! Ka Chiyo jahat. Aku. Harus aku!”

“Sayang,” Chiyo mengusap lembut rambut hitam kekasihnya dan menggeleng.

Chiyo mendekatkan jarak diantara mereka berdua. Hembusan nafas terasa sangat dekat, bahkan detak jantung mereka bisa terdengar sangat jelas.

Chiyo melumat bibir kekasihnya, berniat menghapus semua rasa alkohol yang diminum beberapa jam lalu.

Kekasihnya membalas lumatan bibir Chiyo, menyeimbangkan kegiatan yang prianya tengah lakukan.

“Ade bantuin,” ucap kekasih Chiyo dengan senyuman manis dan mata sendu ciri khasnya. Membuat si pria semakin tertantang ingin melahap habis perempuan yang ada didepannya.

“Hmmng-hh kaa,” satu lengkuhan berhasil keluar dari mulut manis kekasihnya. Mencoba mengambil nafas yang hampir habis karena ciumannya yang menjadi lebih agresif.

Chiyo melepaskan tautan bibir diantara mereka berdua. Kembali menetralkan nafsunya agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

“Ka, you should fuck me and we can married after that.”

Chiyo kaget, tersenyum sinis, dan menggeleng dengan cepat.

“We should married than we can making love.”

“You can use me.”

“Engga. Ga boleh.”

“Punya kamu udah tegang. Padahal kita belum ngapa-ngapain.”

Chiyo segera menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidak membiarkan kekasihnya untuk melihat dirinya. Malu.

Si perempuan dengan sengaja ikut masuk ke dalam selimut. Sedikit turun kebawah dan memainkan milik Chiyo yang benar-benar sudah sesak didalam sana.

“Jangan pegang.”

Yang disuruh tidak mendengar. Pura-pura tuli dan melanjutkan kegiatannya.

Chiyo yang sebenarnya ingin hanya diam. Menikmati sentuhan tangan dari kekasihnya.

“Ah!”

Chiyo kaget.

Sangat.

Perempuannya memaksa mulut kecilnya untuk mengulum miliknya. Membiarkannya masuk seutuhnya tanpa sisa.

“Buruannn kalau mau di gerakin. Gue udah ga tahan!”

Kekasihnya menggerakan kepalanya maju mundur. Memanjakan milik Chiyo yang benar-benar sudah mengeras dan mungkin semuanya akan cepat keluar hanya dengan kuluman yang ia berikan.

Chiyo yang merasa tersiksa membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh kekasihnya. Mendorong tubuh si kecil agar dirinya bisa melihat jelas bagaimana perempuan kecilnya ini memanjakan dirinya.

“Kamu yang minta. Kamu jangan nyalahin kakak kalau besok ga bisa jalan.”

Yang mendengar hanya mengangguk patuh. Membiarkan Chiyo menjamah seluruh tubuhnya tanpa cela, memberikan segala akses masuk dan lampu hijau untuk memulai kegiatan lebih dari ini.

“Mau coba pake pisau? Atau kakak siksa kamu pake vibrator?”

“Will be better if you torture me with your Mr.D,” yang menjawab benar-benar memberikan respon yang membuat Chiyo kaget.

“I never taught you to speak like that, Honey. Siapa yang ajarin?”

Chiyo tengah mencari baju maid yang ia rasa kekasihnya pernah beli. Ia juga sebenarnya tidak terlalu tau alasan kekasihnya membeli satu set lengkap pakaian seperti itu, yang jelas Chiyo menyukainya.

Baji sudah sampai di depan kost-an seorang pemuda manis pujaannya bernama Chifuyu Matsuno. Laki-laki yang menolong dan membantunya beberapa minggu lalu di hari Senin.

“Kak, sebentar ya aku ambilin minum. Ka Baji mau apa?” tanya si pemilik kamar bernomor 50.

“Terserah lo,” jawabnya.

Chifuyu meninggalkan Baji dengan beberapa kantung kresek putih berlogo Alfacard.

Baji membawakan Chifuyu martabak manis dan beberapa camilan untuk persediaanya dan juga camilan yang bisa mereka makan waktu itu juga.

Chifuyu membawa 2 gelas minuman berwarna orange, sepertinya itu minuman rasa jeruk.

“Mau cerita apa ka?” tanya Chifuyu.

Baji melihat sekeliling kamar Chifuyu yang sangat penuh dengan kertas dan beberapa tumpukkan baju yang Chifuyu sendiri lupa itu sudah menumpuk seberapa lama.

“Maaf ya berantakan,” tambahnya.

Baji membenarkan posisi duduknya, menyender kasur Chifuyu.

“Gue cape Puy – “

” – selama ini mungkin orang-orang kira gue baik-baik aja, padahal jauh dari kata baik.”

Chifuyu mendengarkan Baji bercerita dengan seksama, berusaha membuat Baji nyaman dengan sikapnya.

“Gue sendirian Puy sekarang. Nyokap gue pisah sama bokap, sebenarnya udah lama pisah. Sejak gue kelas 5 sd kayaknya mereka udah ga satu kamar lagi, setelah gue smp gue mulai ngerti kenapa bokap atau nyokap gue suka jarang pulang barengan, ternyata nyokap udah ada pacar baru sebelum resmi bercerai sama bokap. Begitupun bokap, mereka sebenarnya bertahan cuman buat gue doang, padahal gue ga usah di peduliin pun gapapa.”

“Gue untung banget ketemu Mikey, Draken, Mitsuya, Koko, sama yang lain. Kalau engga kayaknya udah ga tau lagi bentukan mental gue kaya gimana sekarang – “

” – udah mati juga sih kayaknya, keetabrak mobil,” ucapnya di lanjut dengan tawa canggung.

Menertawakan dirinya dan kehidupannya yang entah sampai kapan harus berpura-pura dan mencari siapa yang mau ia ganggu setiap harinya karena cerita suramnya itu.

“Oh iya Puy, lo ngekost disini udah lama?” tanya Baji sambil memakan martabak yang ia beli tadi.

“Baru pindah sini baru-baru,, soalnya kost-an lama ada masalah internal dari pihak yg punya kost-an,” jelasnya.

Baji mengangguk.

Mereka berdua kini sibuk dengan pikirannya masing-masing. Memang canggung sebenarnya, mereka baru saja kenal beberapa minggu lalu dan Chifuyu juga harus menjaga sikapnya di depan kakak tingkatnya di kampus.

“Puy,, lo ada pacar?”

“Uhuk— u-uhukk,” Chifuyu tersedak minumannya.

“Ehh sorry-sorry,” Baji memberikan minumnya kepada Chifuyu.

“Makasih ka. Kaget gue.”

Chifuyu menggeleng, “Gue ga ada pacar. Apa ya bisa di bilang kapok? Males sih lebih tepatnya.”

“Gue ga ada celah dong ya kalau lo males.”

Yakin. Pipi Chifuyu kini memerah seperti kepiting rebus. Ia hanya tertawa canggung atas pernyataan Baji.

“Tapi Puy – “

Chifuyu menatap mata Baji, “ – lo mau jadi pacar gue?”

“Lo siap sama sifat asli gue Ka?”

“Lo aslinya ada 2 orang ya?”

Chifuyu tersenyum dan mengangguk.

“Gue siap. Lo orang yang gue suka, apapun harus siap kan gue?”

“Jadi, gimana Chifuyu? Lo mau jadi pacar gue?”

Chifuyu mengangguk, “Kalau Ka Baji ngerasa aku rese, bilang aja ya. Jangan tiba-tiba minta putus terus maki-maki aku.”

Baji menatap mata Chifuyu dalam. Mencoba meyakinkan seseorang di hadapannya untuk mempercayainya tidak akan melakukan hal tersebut.

Cup!

Satu kecupan di berikan kepada Baji. Ia kaget, benar-benar kaget.

Baji tersenyum dan kembali membawa Chifuyu kedalam ciuman yang kini di mulai darinya.

gue? narasi apaan ini ya tuhan jelek banget. maap ya deadline

harsh words

Kediaman seorang Hajime Kokonoi kini dipenuhi oleh orang-orang yang sangat berisik. Sudah berulang kali Koko mengingatkan mereka untuk tidak terlalu berisik, karena sedang ada pembangunan di rumahnya. Ia hanya takut tukang yang bekerja di rumahnya terganggu dan mendemo Koko agar teman-temannya itu di usir karena mengganggu pekerjaan mereka.

“Tapi nih ya, kalau lo milih diem di vila mulu yang ada sia-sia kita jauh-jauh ke Banten anjing!” kata Izana sambil meneguk kopi latte kegemarannya.

“Ya tiga hari doang anjir, mau kemana lagi. Lagian Banten jauh kemana-mana. Mau nyebrang Sumatera?” ucap Draken.

“Gue udah urus, mau sebulan juga kaga ngapa,” ucap Koko tiba-tiba.

“Lo aja sama keluarga lo. Seminggu aja dah ayo,” tawar Kakuchou.

“Seminggu mau kemana? Lo udah tau kita mau kemana aja?” tanya Izana.

“Mending ke Bali atau Lombok atau NTT aja ga sih biar jauh sekalian kalau seminggu?” ajak Koko.

“Duit darimane please? Gue ngebengkel doang gaweannya,” ejek Draken.

“Gini deh, tiket pulang pergi, transportasi, sama penginapan biar gue aja. Sisanya kita patungan. Gue tau lo semua suka jadinya ga enak nanti,” tawar Koko.

“Berapa orang yang ikut memang?” tanya Izana.

“15 paling, disini ada 15 orang kan,” jawab Draken.

Mikey, Hakkai, Kazutora, Takemichi, Chifuyu, Hinata, Yuzuha, Senju, Sanzu, Mitsuya dan Baji hanya diam melihat kelakuan mereka yang meributkan kemana mereka harus pergi selama satu minggu kedepan.

“Mikey, mau kemana aja? Yang ngajak kan lo nih, ayo ikut diskusi,” ucap Draken dengan menatatap was-was takut Izana menerkam dirinya.

“Gue mau ajak Inui. Boleh kaga?” tanya Koko yang sibuk dengan ponselnya.

“Mau ajak Taiju ama Kisaki juga kaga ngapa,” jawab Draken asal.

“Mau ajak Kisaki lo? Gue sih ogah,” tambah Mitsuya.

“Jangan udah ga usah. Ribut nanti yang ada,” tambah Izana.

Baji yang bosan mendengar teman-temannya yang belum juga selesai, izin untuk pulang terlebih dahulu karena ada part time yang harus ia kerjakan.

“Gue cabut duluan,” izin Baji kepada teman-temannya.

“Kemana?” tanya Chifuyu dengan nada yang mungkin hanya terdengar oleh Baji.

Baji menoleh pada Chifuyu, “Kerja. Biar liburannya enak.”

Chifuyu melihat jam tangannya, jam sudah menujukkan pukul 12 siang. Ia juga harus segera pulang untuk mengerjakan tugas teman-temannya.

Iya, Chifuyu membuka dirinya untuk menjadi joki tugas teman-temannya yang sejurusan dengannya. Karena bagaimana pun juga sekarang Chifuyu tinggal sendiri dan tidak ada siapapun yang akan memberikannya uang untuk kesehariannya.

“Kemane Ji?” tanya Koko.

“Kerja. Pa Hamka dah ngechat mulu,” jawab Baji.

Ia segera memakai jaketnya dan mengambil kunci motornya.

“Duluan ya,” ucapnya pada Chifuyu, pelan.

“GUE DULUAN!” teriaknya pada semua.

“HATI-HATI. UDAHNYA BALIK SINI AJA PADA MAU NGINEP SINI SOALNYA!” teriak Koko dan dijawab anggukan oleh Baji.

“Gue duluan ya, pulangnya hati-hati.” pamit Baji pada Chifuyu, pelan.

Chifuyu mengangguk, “Lo juga hati-hati Ka.”

Baji berjalan keluar dan membiarkan mereka berdiskusi panjang untuk hari ini.

Chifuyu sibuk dengan ponselnya, Takemichi dan Mikey yang melihatnya cukup khawatir dengan temannya yang satu ini. Karena hanya mereka berdua yang tau keadaan Chifuyu lebih dalam. Baik Kazutoran dan Hakkai mereka tau namun tidak ingin terlalu ikut campur.

“Mau pulang juga?” tanya Mikey pelan.

Chifuyu dengan senyumannya menggeleng, “Nanti aja.”

“Udah dapet berapa email tugas?” tanya Takemichi.

Chifuyu memperlihatkan layar ponselnya kepada mereka.

20.

“Banyak. Pulang aja ya, biar lo ga bedagang ngerjainnya,” titah Mikey.

“Gapapa gue pulang duluan? Ga enak sama kalian,” kata Chifuyu.

“Gapapa sayang ku, pulang duluan aja. Gue yang izin sama Koko ya,” Mikey langsung menghampiri Koko.

Chifuyu yang melihat dan jauh bisa melihat wajah Koko yang sepertinya mengizinkannya pulang.

“Nih, buat beli bensin kata Koko,” Mikey memberikan beberapa uang kepada Chifuyu.

Chifuyu menggeleng, “Masih ada ko. Ga usah.”

“Gue duluan ya,” izin Chifuyu pada Mikey dan Takemichi.

“Semuanya,,” ucap Chifuyu dengan suara yang cukup keras dan bisa di dengar semua orang di sana.

“Guee duluan,” izin Chifuyu diakhiri dengan senyuman manisnya.

“Hati-hati yaa!!” teriak Izana.

“Hati-hati ya Chifuyu, makasih udah dateng,” ucap Draken.

“Hati-hati sayang!” teriak Sanzu pada Chifuyu.

Chifuyu tersenyum dan keluar dari rumah Koko diantar oleh Mikey dan Takemichi.

“Pulangnya makan dulu ya baru ngerjain,” ucap Mikey.

Chifuyu mengangguk, “Gue duluan ya. Makasih bilangin Koko.”

“Sip!”

Chifuyu pergi meninggalkan mereka berdua.


Sesampainya di kostan Chifuyu langsung membersihkan dirinya dan membuka laptop untuk memeriksa email yang sudah teman-temannya kirimkan.

Jika kalian mengira Chifuyu mengerjakan tugasnya bersamaan dengan tugas teman-temannya, itu salah. Ia lebih dulu mengerjakan tugasnya, jika masih ada waktu untuk mengerjakan di kampus, perpustakaan kampus yang besarnya hampir sama dengan rumah Koko adalah tempat favoritnya selama ia berkuliah disini.

Memang baru 2 minggu para mahasiswa baru merasakan belajar di suasana yang berbeda. Tapi Chifuyu juga sudah harus berbaur dengan orang-orang di dalamnya. Apalagi teman-teman kelasnya.

Ia tidak terlalu sering ikut berkumpul dengan mereka saat kali mereka di ospek sampai sekarang. Menurutnya itu hanya membuang uang yang sudah ia tabungkan.

Mikey, Kazutora, Hakkai, dan Takemichi lebih sering mendatangi kostan Chifuyu daripada mengajaknya untuk keluar. Karena mereka pun tau bagaimana keadaannya dan susahnya Chifuyu untuk sekedar menghirup udara segar sebentar.


“Misi Pa, maaf saya sedikit telat,” sapa Baji saat sampai di tempat kerja part timenya.

“Gapapa, masih waktu istirahat. Kamu makan siang dulu aja sana, ada yang lain juga.”

Baji mengangguk dan pergi ke ruang belakang untuk makan siangnya sebelum bekerja.

Baji bekerja paruh waktu di sebuah cafe milik dosennya. Sebenarnya ia sudah bekerja disana selama kurang lebih 2 tahun, sebelum ia menjadi mahasiswa pun ia sudah bekerja disana.

Seminggu yang lalu orang tua Baji resmi bercerai. Baji yang dipaksa untuk ikut dengan ayahnya menolak dengan baik karena ini adalah pilihannya sendiri.

Kedua orang tuanya tetap memberikan uang kasar selama ia berkuliah. Mulai dari biaya UKT, UTS, UAS, dan hal-hal yang menyangkut perkuliahannya orang tua Baji sudah mengurusnya.

Baji hanya menghidupi dirinya dengan uang hasil bekerjanya. Ia sebenarnya sudah tidak mendapatkan uang jajan untuk dirinya semenjak kelas 2 SMA.

Baji sebenarnya masih penasaran dengan seorang Chifuyu Matsuno. Ia tidak bisa terus denial untuk tidak kembali jatuh cinta kepada seseorang.

Baji mengirimkan beberapa bubble message kepada Chifuyu, berharap si pujaannya mau menerima ajakannya.

Pagi yang lebih terik dari biasanya membuat seorang pemuda cantik bernama Chifuyu Matsuno bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini juga sebenarnya ia harus bergegas pergi ke kamar mandi dan sarapan, karena kampus impiannya sudah memanggilnya untuk segera mendatanginya.

Ya, hari ini ospek hari pertama seorang Chifuyu setelah kurang lebih 3 bulan berdiam di dalam rumah. Sebenarnya ia tidak sepenuhnya diam di rumah, hanya saja teman-temannya selalu memaksa ia keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan, padahal menurutnya itu adalah hal yang membuang-buang waktu.

Seragam SMA-nya kini ia kembali kenakan.

Almamater berwarna hitam, celana hitam, kemeja putih serta dasi kesukaannya sudah rapih ia kenakan. Hari ini juga ia hanya sarapan sereal dan susu, karena bundanya yang selalu tak pulang jika esok adalah hari Senin.

Chifuyu memanaskan motornya, mengecek apakah masih ada bensin atau tidak di dalam tangki bensin motornya.

Semuanya sudah selesai, Chifuyu segera pergi ke kampusnya untuk menyusul teman-temannya yang sudah berisik sejak tadi di grup chat.

Ia tau teman-temannya membicarakannya, hanya saja ia memang cuek dan ini masih sangat pagi untuknya hanya untuk membalas ocehan mereka di Senin pagi yang cukup panas.

Di satu sisi rumah lainnya ada seorang mahasiswa laki-laki yang terlihat sudah siap dengan pakaiannya untuk segera pergi ke kampus.

Grup teman-temannya sudah cukup berisik untuk segera menyuruhnya pergi ke kampus. Ia juga sebenarnya sudah harus berangkat, tapi keadaan rumahnya masih belum memungkinkan untuk ia tinggal sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul 7.15, 15 menit lagi ospek akan segera dimulai.

Baji Keisuke, seorang ketua divisi kedisiplinan harus mencontohkan hal yang baik untuk para adik tingkatnya tentang menghargai waktu dan tata tertib yang sudah dibuat.

“Baji,” ia menoleh ke arah belakang. Saat ini sebenarnya ia sudah bersiap di atas motor untuk segera berangkat.

“Papah ga pulang untuk 1 minggu ini. Kamu bisa jaga diri kamu sendiri kan?”

Baji menghela nafasnya malas dan mengangguk, “Iya. Papah ga pulang pun gapapa. Baji udah biasa sendiri.”

“Mama hari ini pulang. Bicarakan hal ini sama Mama, Papah minta tolong.”

“Papah yang mau cerai ko Baji yang suruh jelasin? Udah Pah, Baji udah telat ini.”

Satu tamparan mendarat di pipi kanan Baji, tepat mengenai luka bakar yang belum sepenuhnya kering.

“Papah minta tolong. Bukan nyuruh!”

Papah Baji meninggalkan dirinya yang tengah kesakitan dan terus memegang pipinya.

Ia tidak peduli dan segera berangkat ke kampus untuk menjalankan kewajibannya.


Seharusnya 10 menit yang lalu, baik Baji maupun Chifuyu sudah sampai di kampus. Tapi keduanya belum memperlihatkan batang hidungnya sama sekali.

Seorang pria melintas sambil mendorong motornya tepat di hadapan Baji. Baji sedang duduk di pinggir jalan raya Baji yakin laki-laki itu akan menjalankan ospek di kampusnya, Touman University.

“Lo mau ke Touman kan?” tanya Baji pada pria yang melintas di depannya, tadi.

Ia menoleh ke belakang dan mengangguk.

“Gue boleh numpang ke motor lo ga? Gue ga bisa kalau bawa motor harus megang pipi gue kaya gini,” katanya sambil memperlihatkan tangan kanannya yang sibuk memegang tissue penuh darah.

Pria itu memarkirkan motornya dan menghampiri Baji.

“Gue Chifuyu Matsuno,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Oh, gue Baji.”

Chifuyu ikut duduk disamping Baji dan mencari sesuatu dalam tasnya.

“Ganti tissue lo pake ini,” titahnya sambil memberikan handsaplas, beberapa kapas, dan 1 roll kasa.

Baji menerimanya dan membuang tissue tadi kesembarang arah.

“Gue bantu,” ucap Chifuyu.

Ia benar-benar membantu Baji menutupi lukanya dengan kasa dan handsaplas memberiannya tadi.

“Lo mau bantuin gue kan?”

Chifuyu mengangguk, “Motor gue mogok tapi, mau jalan bareng gue?”

Baji menggeleng cepat, “Biar motor lo nanti gue minta tolong temen gue.”

Baji mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan kepada temannya untuk mengantarkan motor Chifuyu untuk diperbaiki di bengkel dekat kampusnya.

Selesai dengan luka di pipi kanan Baji. Chifuyu langsung membereskan sisa-sisa sampah tadi dan juga tissue yang sengaja Baji buang sembarang untuk dibuang di tempat sampah.

“Ga jiji? Itu darah gue semua,” tanya Baji pada Chifuyu setelah melihatnya membuang sisa tissue bekas darahnya tadi.

“Buat apa? Udah sering gue liat tissue penuh darah,” jawabnya.

Baji dan Chifuyu terdiam satu sama lain. Mereka menunggu teman Baji untuk memastikan bahwa motornya akan dibawa ke bengkel dekat kampus.

“Makasih,” ucap Chifuyu tiba-tiba.

“Santai.”

“Tuh temen gue dah dateng. Kuncinya masih ngengantung di motor gue, langsung aja ya.”

Chifuyu mengagguk dan terlebih dahulu menghampiri motor Baji.

“Cowo lo?” tanya temannya tiba-tiba.

Baji menjitak kepala temannya itu, “Bawa ke bengkel deket kampus.”

Baji meninggalkannya dan menghampiri Chifuyu untuk segera pergi ke kampus.

kissing

Kenma yang sudah bersusah payah mengajak raganya untuk pergi ke kediaman Kageyama, harus menelan kecewanya sendirian.

Pasalnya Kenma yang seharusnya bertemu Hinata dan Kageyama untuk berbincang tidak diizinkan Tuhan untuk bertemu mereka malam ini. Kenma mendapati dirinya sendiri bergerak ke arah nomor apartmen dan lantai yang salah.

Kenma tengah berdiri di depan pintu bernomor 890 di lantai empat. Hinata juga tidak memberi tau dimana kamar kekasihnya itu dan ia yakin sekali ini sebuah jebakan agar dirinya menyelesaikan masalah dengan satu orang yang bahkan sekarang ia sangat malas untuk menemuinya.

Kuroo Tetsurō, laki-laki yang harus Kenma temui karena Tuhan yang menyuruh kakinya bergerak sampai ia benar-benar ada di depan pintu apartmentnya sekarang.

Ponsel Kenma berdering, beberapa pesan masuk dari seseorang yang entah siapa.

Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan masuk yang ternyata dari si pemilik ruangan nomor 890 dan seseorang yang kabarnya tengah dekat dengan si pemilik ruangan nomor 890.

Kenma enggan untuk kembali berurusan dengan seseorang bernama Kuroo Tetsurō. Benar-benar enggan untuk minggu-minggu ini.

Pesan dari si pemilik ruangan itu terus bertambah, membuat Kenma terpaksa mengiyakan dirinya untuk menyetujui masuk ke dalam ruangan tersebut.

Si pemilik bilang bahwa sandi apartmentnya masih belum ganti. Kenma mencobanya.

3321

Klik.

Ternyata benar, sandi apartmentnya masih belum di ganti. Kenma yang sudah lama tidak bergunjung ke apartment mantan kekasihnya ini cukup kaget melihat banyak sekali baju berserakan, piring bertumpuk, pecahan gelas, botol alkohol, dan darah.

“Darah?” tanyanya bingung pada dirinya sendiri.

Sedangkan sang pemilik apartment tidak ada di ruangan. Entah di kamar atau sedang keluar, Kenma yang melihat kekacauan disini menghembuskan nafasnya kasar dan segera untuk membereskan kekacauan yang ada di depannya.

Kurang lebih satu jam Kenma membereskan kekacauan ini. Cukup cepat bagi seorang Kenma yang biasanya hanya berdiam di depan layar monitor selama berjam-jam.

“Kenma?”

Kenma menoleh ke sumber suara.

Ternyata benar, sang pemilik apartment sedari tadi hanya berdiam di dalam kamarnya.

“Aku baru bangun, maaf ya.”

Kenma mengangguk, “Aku udah bikinin makan. Aku tau kamu belum makan.”

Kuroo melihat jam dinding yang terpasang dekat pintu keluar. Sudah jam setengah satu malam ternyata.

“Kamu ngapain malem-malem keluar? Mau ke apart Kageyama?”

“Di suruh Hinata.”

Kuroo yang masih mengumpulkan nyawa di sofa sangat ingin memeluk Kenma yang sudah lama ia tidak lihat raganya.

“Kamu belum berubah ya?”

“Pertanyaan macam apa itu,” jawab Kenma dengan tersenyum kecil.

“Mau maafin aku ga? Aku salah besar banget ya ninggalin kamu. Aku bodoh sih lebih tepatnya. Tapi kalau kamu ga mau dan ga bisa gapapa ko aku ga maksa. Kamu keliatan bahagia juga tanpa aku. Ak – “

Ucapan Kuroo langsung terpotong, karena Kenma yang tiba-tiba mengecup bibirnya. Kuroo yang kaget hanya bisa terdiam dan berusaha mencerna apa yang dilakukan seseorang di depannya.

“Aku maafin.”

Kenma kembali mencium bibir Kuroo. Entahlah mungkin ia merindukan bibir mantan kekasih kesayangnnya ini. Terhitung sejak 3 bulan mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, terhitung juga sejak itu pikiran mereka berdua hampa.

Kenma yang merasa kesal karena tidak ada balasan dari seseorang di hadapannya ini dengan terpaksa harus mengigit bibir seorang yang ada di hadapannya ini.

Setelah mendapat kesempatan Kenma bermain dengan lidah Kuroo disana. Lidah yang sudah lama tidak bertemu, saliva yang sudah lama tidak bertukar.

“Kenma,”

“Hm?”

“Come back to me?”

“Setelah aku kaya gitu kenapa kamu harus nanya gitu?”

“Hee?”

“Sure. Aku ga jamin tapi, I'm a youtube now? Maaf waktunya bakalan kebagi-bagi.”

Tanpa persetujuan Kuroo mencium kembali bibir Kenma.

“Asalkan sama kamu, aku gapapa. Pindah sini ya? Aku bantu pindah-pindahnya.”

Kenma mengangguk dan akhirnya mereka terlelap dalam pelukan.